Beberapa waktu lalu ramai penyebutan paman nobita ngebet nobita jadi presiden. Tidak tahu kartun, hanya jadi pengen tahu, kemungkinan netizen menyamakan seorang tokoh dengan kemiripan si politikus dalam berpakaian, bersikap, atau kadang juga berbicara. Kreatif.
Kemudian hari muncul Caplin, aktor dengan kekhasan pada kumis, untuk merujuk pada seoran tokoh yang memang identik dengan kumis kecil, mungilnya. Entah mengapa tidak menggunakan Jojon, mungkin perutnya kurang gede dan tanpa celana sampai atas perut. Yang jelas penikmat dunia media sosial paham, siapa yang dimaksudkan dan dengan cepat dipahami bareng, tanpa adanya potensi UU ITE dan pencemaran nama baik.
UU ITE memang kadang jadi momok, ketika model bernegara dan hidup tertib hukum masih sangat kecil. Mudah tersinggung, dikit-dikit terhina, penistaan, dan sejenisnya, ya sudah UU ITE sama dengan tiang gantungan. Awalnya adalah memberikan kepastian hukum. Persoalan timbul, jika para pelaku di dalam koridor itu ada yang baperan, fanatis, dan antikritik.
Meme balas meme, opini balas opini, kritikan ya terima sepanjang memang berdasar, bukan waton sulaya. Masalah memang, ketika berdemokrasi namun baperan. Pengritik tanpa dasar dan asal bicara. Itu bukan semata kelas akar rumput, termasuk elitnya. Tidak banyak sebenarnya, tetapi mereka ini suka media sosial dan dikit-dikit penistaan, tetapi perilakunya lebih jahat, kemudian melindungi diri dengan label agama biasanya.
Dulu, hewan sangat ngetrend, menjadi sebuah kamuflase di dalam berpolitik. Ada cebong labeling untuk pendukung Jokowi karena kedapatan memelihara katak, dilabelkan untuk merendahkan dan seolah menjadi gambaran, kalau bodoh IQ sekolamlah, inilah, dan itulah. Label yang sama sekali susah hilang.
Pada posisi lain, para cebi memberikan cap kampret, katanya, kala Prabowo salah dalam debat kedengaran mengumpat dengan kata kampret. Hiruk pikuk, dan riuh rendah nirmanfaat tapi ya memang harus demikian.
Usai pilpres periode berikut lahirlah kadrun, kadal gurun. Ini sih identik dengan apa yang terjadi pada kampret. Sejatinya sih hanya olok-olok, seperti apa sekolah, terutama berasrama yang biasa memberikan julukan, tanda akrab. Tidak ada persoalan sebenarnya, bisa dipakai becanda kalau dewasa sih.
Jauh sebelum itu ada yang namanya kebo, ini beneran binatang kerbau yang bertanduk dua, kulit abu kehitaman, penurut, tetapi membuat seorang presiden tersinggung. Binatang tidak boleh untuk demo, ya sudahlah, ikut saja, namanya juga presiden baperan.
Sama kreatifnya dengan netizen dan pendukung pada afiliasi politik. Rokok sangat ketat untuk bisa mengiklan. Makanya sangat kreatif untuk bisa menjual yang namanya rokok. Paling fenomenal jelas wani piro. Bertahun berikut masih demikian masif, ketika menggambarkan orang-jin yang meminta bayaran atas sebuah jasa. Dan itu semua indentik dengan hidup bersama, hukum, dan birokrat yang semuanya ujungnya uang.
Perusahaan-perusahaan rokok sangat jor-joran untuk iklan, biro iklan menjual kreatifitas sangat mahal untuk itu. Karena menyiasati ketatnya peraturan.
Bersiasat ini belum tentu jahat. Sama juga ketika menulis orang akan cenderung tidak akan berimbang. Mengapa? Menulis, menuangkan ide, gagasan, dan dukungan itu jelas berpihak. Sepanjang di dunia orang tidak akan pernah lepas namanya keberpihakan. Mengenai motivasi memihaknya beragam, ada karena idealisme, kesamaan ide, atau yang maling murah, ya uang. Itu sah-sah saja, sepanjang tidak memutarbalikan fakta.
Contoh, jelas-jelas kubu yang didukung itu pernah korupsi, kog dikatakan bersih. Lha bersih dari mananya coba. Berbeda ketika membrandingkan perubahan usai dibui karena maling dengan aksi-aksi sosial yang masif.
Melihat rival atau kubu lawan dengan jernih. Ada bukti dan fakta yang memang valid. Paling gampang ya sudah dimuat di media arus utama. Jangan membuat hoax, atau berita palsu, mau utuh ataupun sebagian. Ini soal kredibilitas.
Membesarkan kebaikan atau positif dukungan itu sah-sah saja, tanpa perlu mengulik kekurangan. Tidak elok tentunya jika menipu. Contoh, menjual piring retak, bukan dikatakan itu memang sengaja dicetak demikian. Itu menipu. Tetapi tanpa membahas retaknya ya tidak soal. Pembeli, pemilih dalam konteks politik sudah tahu juga kog.
Bangsa ini sangat besar, kaya, kreatif, tetapi menjadi biasa saja karena banyak orang tidak melakukan tetapi banyak omong, terutama mematahkan semangat pihak lain. Cenderung yang banyak protes dan menilai ini dan itu tulisannya tidak lebih baik dan tidak lebih banyak. Hanya cenderung mematahkan semangat, tanpa ia berbuat.
Kreatifitas tidak didukung, malah ditelikung. Ingat, bagaimana perakit televisi malah mau dipenjara. Pun perakit senjata dibui. Kreatifitas bisa mati kutu karena memang lingkungan, habitatnya tidak mendukung untuk maju.
Ciri orang maju itu menaikan mutu hidupnya bukan merendahkan pihak lain untuk mendapatkan kemajuan. Sayang, bahwa hal demikian ternyata belum menjadi budaya hidup bersama kita.
Mari kreatif yang membangun, bukan iri atas capaian pihak lain. Maju bersama itu lebih baik dari pada sendirian.Â
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H