Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Caplin, Nobita, Wani Piro, Antara Iklan Rokok dan UU ITE

23 November 2020   14:04 Diperbarui: 23 November 2020   14:09 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu ramai penyebutan paman nobita ngebet nobita jadi presiden. Tidak tahu kartun, hanya jadi pengen tahu, kemungkinan netizen menyamakan seorang tokoh dengan kemiripan si politikus dalam berpakaian, bersikap, atau kadang juga berbicara. Kreatif.

Kemudian hari muncul Caplin, aktor dengan kekhasan pada kumis, untuk merujuk pada seoran tokoh yang memang identik dengan kumis kecil, mungilnya. Entah mengapa tidak menggunakan Jojon, mungkin perutnya kurang gede dan tanpa celana sampai atas perut. Yang jelas penikmat dunia media sosial paham, siapa yang dimaksudkan dan dengan cepat dipahami bareng, tanpa adanya potensi UU ITE dan pencemaran nama baik.

UU ITE memang kadang jadi momok, ketika model bernegara dan hidup tertib hukum masih sangat kecil. Mudah tersinggung, dikit-dikit terhina, penistaan, dan sejenisnya, ya sudah UU ITE sama dengan tiang gantungan. Awalnya adalah memberikan kepastian hukum. Persoalan timbul, jika para pelaku di dalam koridor itu ada yang baperan, fanatis, dan antikritik.

Meme balas meme, opini balas opini, kritikan ya terima sepanjang memang berdasar, bukan waton sulaya. Masalah memang, ketika berdemokrasi namun baperan. Pengritik tanpa dasar dan asal bicara. Itu bukan semata kelas akar rumput, termasuk elitnya. Tidak banyak sebenarnya, tetapi mereka ini suka media sosial dan dikit-dikit penistaan, tetapi perilakunya lebih jahat, kemudian melindungi diri dengan label agama biasanya.

Dulu, hewan sangat ngetrend, menjadi sebuah kamuflase di dalam berpolitik. Ada cebong labeling untuk pendukung Jokowi karena kedapatan memelihara katak, dilabelkan untuk merendahkan dan seolah menjadi gambaran, kalau bodoh IQ sekolamlah, inilah, dan itulah. Label yang sama sekali susah hilang.

Pada posisi lain, para cebi memberikan cap kampret, katanya, kala Prabowo salah dalam debat kedengaran mengumpat dengan kata kampret. Hiruk pikuk, dan riuh rendah nirmanfaat tapi ya memang harus demikian.

Usai pilpres periode berikut lahirlah kadrun, kadal gurun. Ini sih identik dengan apa yang terjadi pada kampret. Sejatinya sih hanya olok-olok, seperti apa sekolah, terutama berasrama yang biasa memberikan julukan, tanda akrab. Tidak ada persoalan sebenarnya, bisa dipakai becanda kalau dewasa sih.

Jauh sebelum itu ada yang namanya kebo, ini beneran binatang kerbau yang bertanduk dua, kulit abu kehitaman, penurut, tetapi membuat seorang presiden tersinggung. Binatang tidak boleh untuk demo, ya sudahlah, ikut saja, namanya juga presiden baperan.

Iklan rokok

Sama kreatifnya dengan netizen dan pendukung pada afiliasi politik. Rokok sangat ketat untuk bisa mengiklan. Makanya sangat kreatif untuk bisa menjual yang namanya rokok. Paling fenomenal jelas wani piro. Bertahun berikut masih demikian masif, ketika menggambarkan orang-jin yang meminta bayaran atas sebuah jasa. Dan itu semua indentik dengan hidup bersama, hukum, dan birokrat yang semuanya ujungnya uang.

Perusahaan-perusahaan rokok sangat jor-joran untuk iklan, biro iklan menjual kreatifitas sangat mahal untuk itu. Karena menyiasati ketatnya peraturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun