Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ferdinand Hutahaean dan Napak Tilas Ruhut Sitompul

23 November 2020   11:24 Diperbarui: 23 November 2020   11:41 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ferdinand Hutahaean dan Napak Tilas Ruhut Sitompul

Dua ekspunggawa Demokrat ini memiliki kemiripan satu sama lain. Langkah dan laku mereka juga sama. Jelas Ferdinand yang yunior mengekor atau napak tilas laku dari Ruhut Sitompul. Hampir semua hal identik dilakukan. Bagusnya lagi adalah mereka keluar ketika berbeda sikap dengan partainya. Berbeda dengan politikus lain.

Masih layak ditunggu muara masa depan Ferdinand Hutahaean ini apakah akan juga sama dengan Ruhut Sitompul yang masuk kandang banteng moncong putih. Hal yang sangat normal di dalam berpolitik, apalagi cara berpolitik kita yang masih seperti ini.

Ruhut Sitompul dulu ada kader Demokrat yang sangat memuja SBY. Ia mengaku memang anjing penjaga Demokrat dan SBY. Kini berbeda. Sikapnya yang berbeda di dalam mendukung calon presiden sebagai alasan ia tidak aktif di partai mercy itu dan kemudian menyatakan diri keluar.

Alasan publik yang ia nyatakan adalah soal pencalonan AHY, yang ia pandang bukan kader partai dan pengalamannya masih terlalu minim. Berbeda jika Ibas yang dimajukan, alasan yang logis, soal lain tentu sangat juga mungkin terjadi.

Pembelaannya pada Jokowi dan Ahok sangat berbeda dengan arus partai secara umum. Pilihan yang aneh dan lucu memang. Tetapi toh demikian adanya.

Kini Ferdinand Hutahaean juga melakukan hal yang sama. Dukungan dan pernyataan yang lebih memberikan pembenaran pada pemerintah, yang sering itu berseberangan dengan sikap partai Demokrat secara umum dan sikap pribadi-pribadi elitnya. Pilihan yang tentu saja normal, apalagi ketika ia menyatakan mundur dan tidak di dalam naungan partai besutan SBY tersebut.

Dua sikap yang layak diapresiasi, di tengah model berpolitik main banyak kaki. Terutama ala Gerindra sebagaimana perilaku Fadli Zon. Tidak heran Ferdinand menantang Fadli Zon mundur dari dewan dan menjadi anggota FPI sekalian. Perilaku meludahi periuk nasi yang masih banyak dianggap baik-baik saja oleh sebagian elit negeri ini.

Ranah kepantasan, etika, moral, dan spiritualitas cenderung rendah. Berani memutuskan keluar partai dan kadang juga jabatan yang memberikan banyak keuntungan, apalagi jika anggota dewan, masih belum ada. Sering menjadi alasan adalah AD ART, UU, atau bahkan UUD. Prosedural menjadi penyakit banyak elit dan politikus kita. Korupsi, di penjara, masih saja dilantik menjadi kepala daerah. Masih menerima gaji sekian bulan sebelum berkeputusan tetap, karena upaya mbulet mereka.

Getol bicara agama, apapun kaitkan dengan agama, tetapi perilakunya jauh dari tuntutan dan tuntunan agama. Malah cenderung bar-bar, ketika menafsirkan UU atau peraturan seenak udelnya sendiri. Layanan hukum juga produk politik, hasil dewan yang sama ngaconya karena memang kualitasnya sangat rendah.

Orang mencari aman, aman finansial, hak-hak khusus yang melekat sebagai anggota parpol, anggota dewan, yang sangat mungkin bisa  nyambi menjadi apa saja. Nah model ini tentu saja susah untuk dilepaskan. Hal-hal yang melekat, enak, nyaman, aman, dan tentu saja bisa mengantar ke mana saja eman kalau ditinggalkan.

Model berpolitik kutu loncat yang belum disikapi dengan sangat serius. Pokok tenar, banyak pengikut, apalagi fanatis buta, selalu dibukakan pintu mau pindah ke mana saja. Nah model ini kadang menjadi penyakit, apalagi ketika nantinya mau menjadi gubernur, walikota-bupati. Periode kemarin nyalon di mana, kini bersama siapa, entah periode mendatang.

Perlu ada aturan yang jelas, mekanisme partai juga demikian. Sikap mendua, main banyak kaki, dan kadang-kadang tidak memiliki idealisme dan ideologis yang jelas dan pasti. Toh masih lumayan demikian, dari pada yang mendua masih di dalam partainya.

Hukum sosial masih belum berlaku. Orang pindah-pindah dan biasanya main uang ketika mencalonkan diri menjadi apa saja. Hal yang membuat ekonomi beaya tinggi pada politik. Sayang wong akhirnya model demikian menghajar kader setia yang kalah tenar atau kalah uang.

Membuat kaderisasi macet dan kacau. Perpindahan kader potensial itu berefek ganda jelas. Memperkuat potensi pemilih, tetapi bisa menghajar kader lama yang kalah tenar. Simalakama, yang masih disukai banyak partai politik.

Orientasi umum partai hanya suara, Mau loyal atau  tidak entar dulu. Tidak heran subur juga ormas radikal dan fundamentalis, parpol berkepentingan di sana. Ogah-ogahan untuk dibubarkan, karena ngarep dapat sokongan.

Laku Ruhut dan Ferdinand itu normal-normal dalam alam demokrasi, yang masih latihan pula. Sikapnya memilih juga lebih baik. Mengenai itu tabiat buruk ya perlu disadari. Begitu banyak parpol dan kualitas kader yang minim, menyuburkan model kutu loncat.

Penyederhanaan parpol bisa menjadi salah satu solusi.  Dengan demikian, ideologi partai sangat jelas,  bukan seperti sekarang sangat mirip, dan tidak ada idealisme bahkan.

Partai politik lebih modern, sehingga aktif sekian waktu menjadi apa, dan pengurus perlu waktu dan pengalaman yang cukup panjang.  Perlu menjadi budaya yang baik.

Pertanyaannya, apa mau model demikian?

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun