Model berpolitik kutu loncat yang belum disikapi dengan sangat serius. Pokok tenar, banyak pengikut, apalagi fanatis buta, selalu dibukakan pintu mau pindah ke mana saja. Nah model ini kadang menjadi penyakit, apalagi ketika nantinya mau menjadi gubernur, walikota-bupati. Periode kemarin nyalon di mana, kini bersama siapa, entah periode mendatang.
Perlu ada aturan yang jelas, mekanisme partai juga demikian. Sikap mendua, main banyak kaki, dan kadang-kadang tidak memiliki idealisme dan ideologis yang jelas dan pasti. Toh masih lumayan demikian, dari pada yang mendua masih di dalam partainya.
Hukum sosial masih belum berlaku. Orang pindah-pindah dan biasanya main uang ketika mencalonkan diri menjadi apa saja. Hal yang membuat ekonomi beaya tinggi pada politik. Sayang wong akhirnya model demikian menghajar kader setia yang kalah tenar atau kalah uang.
Membuat kaderisasi macet dan kacau. Perpindahan kader potensial itu berefek ganda jelas. Memperkuat potensi pemilih, tetapi bisa menghajar kader lama yang kalah tenar. Simalakama, yang masih disukai banyak partai politik.
Orientasi umum partai hanya suara, Mau loyal atau  tidak entar dulu. Tidak heran subur juga ormas radikal dan fundamentalis, parpol berkepentingan di sana. Ogah-ogahan untuk dibubarkan, karena ngarep dapat sokongan.
Laku Ruhut dan Ferdinand itu normal-normal dalam alam demokrasi, yang masih latihan pula. Sikapnya memilih juga lebih baik. Mengenai itu tabiat buruk ya perlu disadari. Begitu banyak parpol dan kualitas kader yang minim, menyuburkan model kutu loncat.
Penyederhanaan parpol bisa menjadi salah satu solusi. Â Dengan demikian, ideologi partai sangat jelas, Â bukan seperti sekarang sangat mirip, dan tidak ada idealisme bahkan.
Partai politik lebih modern, sehingga aktif sekian waktu menjadi apa, dan pengurus perlu waktu dan pengalaman yang cukup panjang. Â Perlu menjadi budaya yang baik.
Pertanyaannya, apa mau model demikian?
Terima kasih dan salam