Apapun gagasan pemerintah itu buruk, hasil dewan yang buruk pun larinya ke pemerintah. Lihat UU KUHP, UU KPK, UU Cipta Kerja. Ujung-ujunnya turunkan Jokowi. Ke mana inisiator, menteri, parpol coba? Seolah mereka menikmati keadaan itu, kalau ganti presiden apa ya mereka masih bisa duduk pada posisi yang sama?
Pandemi, semua berteriak lockdown, ada anak kecil pun ikut-ikutan, anak ketua parpol, dampaknya gede. Ada pula oposan dari pimpinan daerah, upaya untuk membuat oposan ini bisa terkendali, waja menjadi rival, bukan asal antitesis pun seolah tidak ada. Kebijakan pusat dimentahkan terus, dan diam saja semua. Jokowi yang menjadi pusat dan fokus kekecawaan, bahkan oleh pendukungnya sendiri.
FPI dan Rizieq siapa  yang salah, pelaku pelanggaran, siapa yang bertanggung jawab untuk mengizinkan, membubarkan, dan mengawasi kerumunan tingkat daerah itu? Semua toh ujungnya Jokowi. Pelaku dan penanggungjawab seolah benar dan malah menjadi pihak yang bebas.
Para pendukung yang kemakan narasi pihak lain ikut menekan dan menyalahkan Jokowi. Mereka merasa kecewa dan jengkel katanya pemerintah tidak tegas, lemah, kalah sama ormas, dan seterusnya.
Ke mana parpol dan elit yang katanya pembantu presiden? Mereka harus dan bisa berteriak untuk membela. Jokowi pernah mengatakan, karena ia petahanan, pejabat, tidak bisa menjawab setiap serangan itu. Memang benar tidak elok. Toh pembantunya bisa.
Jokowi fokus kerja, tidak memberikan porsi, energi, dan waktunya untuk menanggapi perilaku ugal-ugalan demikian. Salah satu hal yang memang baik dan tepat. Namun sebagai bagian dalam hidup bernegara, kadang kala perlu juga bantahan yang membuat  pihak lain itu tahu bahwa mereka berlebihan.
Rakyat juga tahu bahwa isu itu benar atau salah. Pembantu-pembantunya yang harus sigap menahan gempuran yang tidak bermutu, murahan, dan tidak diulang-ulang. Hal yang dibiarkan saja dan menjadi gede. Merugikan negara karena hiruk pikuk kaum koplak ini sangat menghabiskan energi.
Konsekuensi demokrasi memang berat, ketika dihuni para pelaku kekanak-kanakan, menggunakan demokrasi semata dalih untuk mengumbar kebencian dan ketidaksukaan tanpa dasar. Termasuk itu adalah pendukungnya di depan media, belum tentu pada faktanya.
Siapa kawan siapa lawan susah ditebak. Sama juga dengan perilaku macan di depan Pi, bisa sewaktu-waktu menyantapnya. Berkali ulang, perintah presiden tidak efektif, artinya sudah jelas bukan?
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan