Jangan sensi dan ngerasa ini sarkas, hanya mau menyatakan sebentuk kebenaran dari perbandingan semata. Semiggu lalu, rekan saya biasa merawat babi mengatakan, bahwa babi merupakan binatang paling rakus iya, namun paling bersih dan antikotor iya juga. Binatang ini tidak mau makan makanan yang sudah terkena air liur, bahkan air liurnya sendiri.
 Bisa diperbandingkan dengan hewan lain, yang masih mau makan makanan sisa ternak lain. Si babi yang dikenal dengan kegananasannya soal makanan, baru tahu begitu rewel di dalam faktanya. Kandangnya yang terbuat dari batu bata jika plesternya terbuka bisa habis tuh batu bata. Tetapi ternyata.....
Nah berkaitan dengan itu, saya ada grup dalam media percakapan berkaitan dengan dokter keluarga, ada satu orang, pensiunan tentara era Orba, hampir setiap hari menebarkan fitnah, apalagi berbicara pemerintahan. Haduuuh, pernah sekali saya tegur soal menjelekan agama, ia meremehkan, saya diamkan, dan tidak lagi peduli, karena toh pendidikannya minim.
Anak-anaknya aparat negara semua. Dia pensiunan, berarti semua periuknya dari negara. Eh tetapi tidak pernah menilai negara secara baik. BPJS kenceng, tetapi selalu saja melihat pemerintah dan negara buruk.
Dalam benak saya, ini orang malah meludahi periuk nasinya sendiri. Ketika mendengar kata teman soal babi ini, jadilah kepingin nulis mengenai hal ini.
Negara dan pemerintah itu memang tidak akan ada yang sempurna, selalu ada kekurangan. Kritik itu bukan caci maki, apalagi kalau itu malah berupa fitnah. Bayangkan saja bagaimana menilai sebuah hutang negara, tidak akan mungkin hanya ditimpakan pada satu pemimpin, apalagi abai soal siapa yang paling besar mengangsur hutang itu.
Kritik itu harus, namun juga kudu proporsional, berimbang, dan perlu data yang akurat. Tentu bukan memuja atau membela Jokowi dan pemerintahan semata. Namun melihat rekam jejak bagaimana pemerintah ini telah bekerja, siapa sih presiden yang bekerja sebesar ini? kekurangan di sana sini itu wajar kog, namanya juga manusia. Bandingkan dengan pemerintahan sebelum-sebelumnya, bagaimana mereka bekerja?
Kritik itu memerlukan solusi, jika tidak mampu memberikan solusi paling tidak berdasar. Jangan sampai diperalat demi kekuasaan dan hasrat segelintir elit tamak. Memangnya mereka akan mau tahu jika ada bagian dari akar rumput terkena jerat UU ITE. Lihat saja bagaimana rupa-rupa banyak pihak yang terperangkan jerat UU itu.
Menyuarakan pendapat itu baik, sah, dan harus bahkan, namun tentu dengan kepantasan, kepatutan, dan logis. Bagaimana arah dan dasarnya, banyak membaca, bukan hanya membagikan postingan SJW yang memiliki kepentingan.
Dasarnya apa pernyataan itu, kadang orang membagikan tanpa tahu ada apa. Contoh Ciptaker, hutang negara, TKA, dan banyak lagi. Hanya membebek para artis medsos yang mempunyai kepentingan sendiri. Mereka berpikir soal perut, bukan negara lebih baik.
Arahnya ke mana sih, mudah kog membaca mereka ada pada pihak mana, siapa kira-kira di belakang mereka, dan maunya mereka apa. Kadang orang tidak paham dengan model ini dan hanya pokoknya heboh, satu barisan, mencaci pemerintah, ikut, dan ketika kena pasal, mana mereka mampu berkelit.
Kepatutan, dulu ada kesempatan menjadi aparat negara dengan skema P3K, rekomendasi relatif aman, rekan-rekan mendukung karena ini kesempatan baik, dan posisi itu aman, karena kosong peminat. Toh tidak saya ambil karena jika masuk ke sana, mana bisa saya menulis dengan leluasa dan bebas. Salah satunya, saya tidak akan meludahi periuk saya sendiri. Untung tidak saya ambil, jika iya, saya lebih jorok dari babi dong.
Kadang orang tidak memikirkan sampai ke sana. Mengapa? Karena orang cenderung mengedepankan ego, kecepatan, dan kebersamaan. Padahal itu semua belum tentu pas dan baik jika mau merenungkannya lebih dalam lagi.
Anak-anak negeri ini layak bersikap demikian, lihat saja elit negeri ini, sangat biasa kentut di muka pemimpinnya seolah-olah baik-baik saja dan merasa itu tidak masalah. Â Rakyat biasa sangat santai memaki pemerintah namun antri BLT terdepan, pun BPJS dibayari negara tanpa malu-malu.
Miris sebenarnya. Mengapa bisa demikian?
Pendidikan, hanya berkutat pada kognisi, hafalan, tidak sampai kepada pengalaman, apalagi pengamalan. Berhenti pada tahu semata. Maling, korupsi saja tidak peduli dan merasa baik-baik saja. Jadi, meludahi piring sendiri sih mana duli.
Agama, identik dengan pendidikan, hanya berkutat  pada ritual dan hafalan. Kaya raya namun memperlakukan pegawai bak budak, padahal religius amat. Mereka tidak peduli. Label, pakaian agamis, namun perilaku bengis sangat mungkin mereka lakukan sekaligus.
Miris sebenarnya bernegara model demikian, tangan kanan tangan Tuhan dengan memberikan derma dan memuji Allah, tangan kiri mencekik sesama dan maling dengan suka cita. Munafik yang amat sangat dan dibungkus dengan jubah kesucian lamis semata.
Terima  Kasih dan Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H