Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lonte, Teks-Konteks, Antara Iwan Fals, Rizieq, dan Maaher

19 November 2020   18:54 Diperbarui: 19 November 2020   19:02 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lonte Teks dan Konteks antara Iwan Fals , Rizieq Shihab, dan Maaher

Masih cukup hangat pembicaraan kata yang satu ini. Miris sebenarnya memakainya, dalam judul pula. Saya tukang mengumpat dan misuh, tetapi satu itu, tidak. Demi sebuah artikel yang harus obyektif dan apa adanya, ya mau tidak mau  menggunakannya.

Pentingnya teks dan konteks dalam penggunaan kata, waktu, tempat, dan latar belakangnya. Paling tidak ada tiga penggunaan kata ini, dalam konteks yang sangat berbeda, dan tentu saja malah bisa bertolak belakang. Keduanya sama persis lonte, satunya kupu-kupu malam. Mari kita lihat bersama.

Kupu-kupu Malam Titik Puspa

Yang berkali ulang direkam dan diaransemen oleh penyanyi lain. Sejak tahun 1977 lagu itu demikian, tanpa menimbulkan riak kemarahan, ketakutan, dan kecemasan bagaimana jika anak-anak mendengar dan menyatakan kata itu. Hal yang lumrah dan wajar.

Sejarah lagunya, ternyata itu mau mengisahkan seorang perempuan yang rindu mendapatkan pasangan yang saling mencinta dengan segala keterbatasan si perempuan. Ia menjual dirinya demi membayar hutang dan suaminya pergi. Nuansa yang jelas sama sekali tidak akan mudah dipahami, dijelaskan, apalagi hanya karena membaca, atau mendengar kata orang. Demikian Eyang Titik mengisahkannya.

Lonteku-nya Iwan Fals.

Remaja laki-laki, sambil gitaran menyanyikan lagu ini juga biasa, tanpa ada hardikan dari si bapak atau Pak RT,  atau emaknya. Penggambaran cinta dan ucapan terima kasih kepada seorang pelacur yang menyelamatkan si tokoh laki-laki dalam kisah Iwan Fals.

Teksnya sama, pelacur, sama pula dengan si kupu-kupu malam, meskipun latar belakang tidak diceritakan, toh mereka itu saling mencintai, apapun latar belakangnya. Pemujaan dan cinta.

Lonte Maaher dan Rizieq

Kemarahan dan makian kepada "rival" yang ia nilai demikian. Tidak sepersis itu juga, hanya si pengucap dan Tuhan yang tahu. Tetapi bisa diperkirakan jika nada itu mau merendahkan paling rendah dari si penutur kepada pihak yang ia sasar. Konteks,  bahasa tubuh, dan cara berujar, berbeda dengan contoh satu dan dua. Wajar ketika hal itu juga berdampak kepada kemarahan pihak lain.

Orang tua yang terbiasa bicara baik dan halus tentu takut anaknya tercemar. Dibarengi mata melotot dan tarikan urat leher, tentu tidak sebagaimana Iwan Fals menyanyikan pujaan kepada si perempuan itu. Apalagi dengar lagunya Eyang Puteri Titik Puspa, siapa yang marah dan menghujat coba.

Cara itu juga menular, mempengaruhi, dan memberikan reaksi sepadan. Ungkapan dengan kemarahan ya akan menimbulkan gelombang kemarahan yang setimpal. Hal yang tentu saja membuat kecemasan.

Apalagi, aroma politis demikian kental. Padahal dalam bahasa Iwan Fals juga sangat erat bertalian dengan politik. Hanya saja, bedanya adalah lagu-lagu satire dan kamuflase demi melakukan kritik kepada pemerintahan represif kala itu.

Berbeda dengan yang terlontar dari Maaher dan Rizieq, itu ungkapan lugas, keras, dan langsung. Menuju kepada pihak yang bukan lagi anonim, orang yang jelas nama, tempat tinggal, dan segala sesuatunya.

Penyelesaian dengan masalah

Mau mencari pembenaran diri yang malah memberatkan. Perlu belajar kepada pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah. Maunya membela diri malah makin parah ketika mengunakan term yang sama, katanya di Medan hal yang biasa. Lihat dan perhatikan konteks dan teks itu penting.

Wajar orang Medan menjadi marah, karena sangat mungkin bukan untuk memaki tetapi hanya sebagai pemanis ketika berteriak. Seperti kata jangkrik, dancuk, bukan dengan mata melotot dan urat leher mau putus tentu saja.

Pun Rizieq yang malah menyatakan polisi menjaga, minta jatah. Ini sejatinya hanya mau menggambarkan dirinya sendiri yang merasa diri menjadi korban malah yang mendapatkan perlindungan rivalnya.

Soal kenakan-kanakan semata. Bagaimana merasa diri sebagai korban, lupa bahwa pada kondisi lain ia pelaku yang kadang lebih parah. Perlindungan polisi karena memang sudah ada ancaman, rekam jejak dan perilaku demikian sudah sering terjadi, dan tentu saja tidak ingin benar-benar ada korban, dan polisi nantinya dituding lalai.

Apa yang terjadi sederhana. Rizieq malu karena ada perempuan yang menguak masa lalunya, hari ini banyak bertebaran photo masa lalu Rizieq yang konon jual obat. Padahal belum tentu juga Nikita Mirzani itu tahu dengan baik apa masa lalu Rizieq, hanya karena sering omong banter, ke mana-mana, seperti tukang obat.

Reaksi atas aksi yang berlebihan, lagi-lagi menandakan ada yang tidak beres. Sama juga dengan orang wasir, kena tendang. Kemarahan pasti amat sangat, luka batin yang terkoyak. Nasi telah menjadi bubur, ketika jati diri seseorang yang terdalam terkuak bisa marah. Padahal apa salah, jelek, dan buruknya tukang obat coba?

Aksi-reaksi, teks-konteks sering salang surup. Apalagi logikanya ngaco dan kadang tidak ada. Ya sudah jadinya makin ngawur dan ke mana-mana. Penting memiliki ketenangan dan berjarak sehingga tidak mengedepankan sisi emosional.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun