Hari Pahlawan, momen baik untuk mengenang para pejuang bangsa ini.Baik masa pergerakan ataupun pembangunan. Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan dan juga memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan. Bekas menteri dan pejabat layak mendapatkan apresiasi itu dengan tanda kehormatan. Pun tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan.
Hari Kemerdekaan kemarin penghargaan diwargai keriuhan dengan dua nama, Fadli Zon dan Fahri yang mendapatkan bintang itu. Secara hukum dan UU itu layak karena jabatan yang pernah diemban oleh dua sosok itu. Namun orang fokus pada cara dan sikap keduanya dalam menampilkan diri selaku oposan pada saat menjabat.
Perundangan tidak melihat perilaku, namun melekat pada jabatan yang pernah disandang mereka. Jika tidak memberikannya, malah presiden sebagai representasi pemerintahan malah salah dan melanggar hukum. Suka atau tidak, hal demikian banyak disalah mengerti oleh pihak-pihak yang menggunakan ranah rasa dalam berpolitik dan melihat perilaku politis.
Bagus, bahwa mereka berdua hadir, menghormati negara, pemerintah, dan  terutama diri mereka sendiri. Penolakan itu tidak layak mereka ajukan, karena yang mereka sasar adalah Jokowi selaku pribadi dan presiden kadang kala, bukan negara. Posisi yang sangat berbeda dan salut pada keduanya yang tetap hadir, meskipun banyak olok-olok dan bahkan penghinaan kepada mereka.
Tentu saya tidak mendukung cara mereka bersikap dalam menampilkan diri sebagai oposan selama ini, namun cara menyikapi dan menghadapi penghargaan itu laik diapresiasi. Jokowi sebagairepresentasi "rival" namun bukan negara yang memberikan kepada mereka penghargaan. Bisa memilah dan memilih, plus tidak pula mempermalukan Presiden RI sebagai simbol dari negara.
Ternyata hari ini berita yang cukup berbeda. Ketika Gatot Nurmantyo menolak hadir, dan meminta tanda kehormatan itu dikirim saja. Beberapa hal menarik yang bisa dilihat dan dijadikan pembelajaran;
Gatot Nurmantyo ini tidak ada keuntungan dan manfaatnya dengan "mempermalukan" Presiden-Pemerintah, dan negara. Lihat perilakunya selama ini jika dibandingkan dengan duo Fahri-Fadli, jauh masih lebih lumayan dan mendingan. Hanya baru akhir-akhir ini saja. Tidak cukup banyak, jika dengan takaran, tidak sebanding dengan perilaku dua mantan pimpinan dewan itu.
Manfaat politis apa yang diperoleh Gatot Nurmantyo dengan melakukan hal tersebut? Sama sekali tidak ada. Hanya paling-paling mau menonjolkan sisi negara gawat sehingga perlu penyelamatan dari mereka, KAMI, yang tetap saja telah gagal dengan melihat sepak terjang mereka selama ini. Apanya yang  gawat? Ketika covid yang mereka dengung-dengungkan, dijawab WHO dengan dua hal.
WHO mengakui lockdown merupakan cara yang tidak tepat, dan pilihan bukan lock down Indonesia artinya tepat dan minimal sudah pada pilihan yang lebih baik. Apanya yang gawat. Point yang jelas dan gamblang.
Keberadaan Menteri Kesehatan Terawan yang diundang WHO untuk memberikan pemaparan penanganan covid, artinya  pengakuan dunia makin jelas dan gamblang. Tidak ada masalah dengan covid dan pilihan pemerintah.
Penolakan di mana-mana deklarasi KAMI, memberikan petunjuk, dugaan, bahwa mereka itu tidak dikehendaki masyarakat, Â minimal di tengah pandemi mereka malah menabrak aturan umum sendiri. Bagaimana dan seperti apa gawat itu? Ataukah mereka malah yang gawat dan ada masalah?
Jokowi itu pada 2024 bukan rival" head to head, dengannya. Untuk apa "mempermalukan" sepertiitu, mau mereduksi kewibawaan dan kebesaran Jokowi juga tidak ada manfaatnya. Pada saat yang sama, mau menaikan citranya juga tidak ada.
Kecenderungan yang dilihat adalah, Gatot Nurmantyo  arogan dan sombong, belum jadi pemimpin saja seperti itu. Susah melihat ia bisa rendah hati. Hal yang lumrah jika demikian lebih mengemuka, ia memilih jalan itu.
Ia menjadi Panglima TNI itu atas rekomendasi Jokowi, boleh dong massa menilai, Gatot Nurmantyo orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu menjaga martabat orang yang pernah memberikannya jalan untuk jabatan. Benar Jokowi hanya membantu, capaiannya sendirilah yang membawanya pada pucuk pimpinan TNI.
Apa yang diperlihatkan Gatot selama ini justru malah memperlemah posisi dia dalam percaturan politik nasional. Pelanggaran kaidah umum protokol kesehatan itu sederhana lho. Menggunakan segala cara demi kepentingan pribadi lebih dominan terbaca.
Permainan dan langkah-langkahnya jauh dari taktis, sangat gamblang terbaca dan terlihat oleh rival politik yang tentunya akan dengan mudah menyiapkan jebakan dan jalan sesat untuk memenggal langkahnya hingga 2024.
Terlalu lama ia membangun citra diri dengan cara yang tidak tepat pula, berkaitan dengan poin di atas. Bagaimana ia dengan sangat gamblang membuka perselisihan dengan pemerintah dan juga partai politik yang mengusung pemerintah tentunya.
Survey jarang menempatkan Gatot pada posisi yang layak untuk ia bersikap seperti ini. Artinya, ia bukan siapa-siapa, kalah jauh dengan Prabowo sesama jenderal, atau pimpinan daerah yang moncer diwakili Ganjar contohnya.
Ia jauh lebih baik itu kini menyewa konsultan politik jempolan, yang akan memberikan nasihat, masukan, dan pendampingan untuk memoles citra diri sebagai politikus. Dagangan Komunis sudah tidak laku dan usang.
Langkah taktis berikutnya, belajar dari Prabowo dan Wiranto memiliki kendaraan partai politik. Cara yang paling mudah, "kudeta" atau "membeli" partai. Langkah ini masih cukup waktu jika memang serius mau maju pilpres.
Energi, waktu, dan pasti dana yang selama ini telah keluar sia-sia, ini sama juga Messi atau Ronaldo namun main tarkam, bingung mau apa dengan permainan yang di hadapi. Ia hanya lari ke sana ke mari namun tidak tahu gawangnya di mana.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H