Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies dan AHY Kolaborasi yang Menjual

3 November 2020   19:34 Diperbarui: 3 November 2020   19:44 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anies dan AHY Kolaboran yang Menjual

Andi Arief selaku kader dan ketua pemenangan partai Demokrat wajar ketika menghajar partai pemenang dan pemerintahan. Apapun maunya dinegasikan, dimentahkan, jelas demi mendapatkan simpati dan memperoleh pemilih di waktu mendatang. Sangat normal dan wajar bagi perilaku politikus oposan.

Menarik lagi, ketika selain menyerang Jokowi/pemerintahan, sekaligus memuji "rival" utama pemerintah. Anies Baswedan selama ini menampilkan diri sebagai oposan dari oposan. Apapun keputusan pusat, bahkan hanya semata istilah saja dibalik olehnya. Menarik, apa yang dikatakan Andi Arief mengenai Anies dan Jokowi.

Penghargaan yang diterima DKI, kata Andi Arief, adalah capaian Anies dan Jokowi yang tidak punya prestasi mendompleng. Apakah benar demikian? Itu ulasan lain saja. Pokok bahasan kali ini justru soal gelagat dan permainan Demokrat untuk ke depan.

Suka atau tidak, Demokrat sekarang masuk pada jajaran partai gurem, tidak hati-hati dan  cerdik akan mengikuti jejak Hanura. Melihat apa yang ditampilkan sih susah bisa berbicara lebih jauh. Minim kader berkualitas, masih memainkan narasi yang melawan arus utama.

Melawan arus juga tidak mesti salah, namun melihat rekam jejak dan prestasi yang sekarang tentu tidak pas. Masalahnya adalah reputasi. Bagaimana publik seolah dicelikan dengan capaian pemerintahan sekarang. Apa yang gagal dicapai periode lalu, kini terlaksana dengan  baik. Persoalan yang ada malah cenderung warisan masa lalu.

Mengapa Anies-AHY?

Mereka telah menciptakan citra sebagai jagoan oposan yang konsisten. Mereka tidak perlu lagi membangun apa-apa selain tetap dengan jalan ini di dalam memberikan gambaran kepada publik. Nama mereka sudah cukup kuat dengan gambaran oposan militan itu. Apakah efektif atau tidak diukur pada pilkada 22.

Parpol  jelas ada Demokrat dengan menggandeng PKS misalnya, atau satu partai besar lain, sudah bisa melaju dengan baik untuk membawa pasangan AA menjadi salah satu calon gubernur dan wakil gubernur di DKI. Memang sangat tidak mudah. Toh masih ada juga Nasdem sama-sama partai menengah, jika ramai-ramai kan jadi gede.

Ini titik penting untuk menjadi sesuatu di 2024. Tanpa kemenangan di pilkada Jakarta maka akan habis untuk keduanya. Mengapa? Tidak cukup panggung untuk mempresentasikan kinerja, capaian, dan prestasi mereka. Klaim atas prestasi dan menuding pihak lain gagal susah untuk terus menerus dilakukan.

Kekuatan parpol memang masih cukup samar, namun potensi itu tetap ada. Politik yang memiliki kredo lawanmu adalah kawanku. Hal yang sangat umum dan biasa terjadi dalam perpolitikan. Lihat saja Jokowi dan Prabowo bisa berduet dengan baik-baik saja.

Pengalaman baru, bagaimana di 2017 mereka adalah seteru, di 2022 mereka adalah pasangan. Rekam jejak Anies dengan SBY dan Demokrat juga telah ada dan sangat lama. Hanya tinggal memulihkan saja dan semua akan baik-baik saja.

Anies yang tidak memiliki partai politik, justru menguntungkan karena  malah bebas mau ke mana saja. Lompat ke mana saja sangat mungkin. Memang kalau tidak hati-hati juga bisa menjadi bumerang dan tidak mendapatkan kendaraan. Tentu saja ia sudah berhitung dengan cermat soal ini.

AHY layak juga menjadi wakil dari Anies. Kesempatan belajar dan menampilkan diri untuk memimpin, bukan semata di balik layar, namun maju ke depan publik, mengawal kebijakan dan kehendak rakyat bisa atau tidak. Selama ini masih tanda tanya, mana bukti bisa bekerja. Kendaraan politik dan jaringannya bisa dimanfaatkan untuk menjadikan dirinya sosok yang memang layak menjadi pemimpin.

Catatan beratnya adalah, bagaimana mengubah persepsi selama ini, di mana Jakarta tanpa pemimpin. Jangan anggap remeh, bagaimana perilaku los stang selama tiga tahun ini bukan barang sepele. Ini tampil di depan publik.

Pembelaan yang hadir cenderung dari kubu itu-itu saja, publik paham bahwa mereka orang atau kelompok yang ditengarai dan diketahui pesanan, hanya karena agenda kardus yang membuat mereka bersuara. Ketika diajak berdiskusi lebih jauh akan nyolot dan memaksakan kehendak. Kelompok yang sudah tidak laku ketika pilpres 2019.

Kebersamaan, dalam konteks kesamaan gagasan, ide, permainan narasi, dan memosisikan diri dan barisan oposan telah menyatukan mereka. Nah akan makin solid ketika berani menunjukkan jati diri yang nyata melalui pemilihan. Dan pilkada DKI bukan barang sepele. Di sana tampak nyata mana emas dan mana hanya sepuhan.

Pembuktian bagi kedua pribadi untuk menjadi kandidat kuat RI-1.  Dua tahun masa kerja bisa menjadi kesempatan unjuk gigi prestasi bukan semata klaim dan pengakuan sepihak dan sendiri saja.

Selama ini satu garis nafas, gagasan lock down, kritikan penanganan pandemi, UU Cipta Kerja, dan banyak isu atau fakta nasional mereka dalam satu barisan. Kesempatan emas untuk pembuktian dan itu sangat mungkin.

Layak ditunggu, kombinasi keren AA, dan mereka cukup tenar juga untuk menuju RI -1 di kemudian hari. Apakah akan terwujud? Ya sama-sama dinantikan saja.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun