Anies dan AHY Kolaboran yang Menjual
Andi Arief selaku kader dan ketua pemenangan partai Demokrat wajar ketika menghajar partai pemenang dan pemerintahan. Apapun maunya dinegasikan, dimentahkan, jelas demi mendapatkan simpati dan memperoleh pemilih di waktu mendatang. Sangat normal dan wajar bagi perilaku politikus oposan.
Menarik lagi, ketika selain menyerang Jokowi/pemerintahan, sekaligus memuji "rival" utama pemerintah. Anies Baswedan selama ini menampilkan diri sebagai oposan dari oposan. Apapun keputusan pusat, bahkan hanya semata istilah saja dibalik olehnya. Menarik, apa yang dikatakan Andi Arief mengenai Anies dan Jokowi.
Penghargaan yang diterima DKI, kata Andi Arief, adalah capaian Anies dan Jokowi yang tidak punya prestasi mendompleng. Apakah benar demikian? Itu ulasan lain saja. Pokok bahasan kali ini justru soal gelagat dan permainan Demokrat untuk ke depan.
Suka atau tidak, Demokrat sekarang masuk pada jajaran partai gurem, tidak hati-hati dan  cerdik akan mengikuti jejak Hanura. Melihat apa yang ditampilkan sih susah bisa berbicara lebih jauh. Minim kader berkualitas, masih memainkan narasi yang melawan arus utama.
Melawan arus juga tidak mesti salah, namun melihat rekam jejak dan prestasi yang sekarang tentu tidak pas. Masalahnya adalah reputasi. Bagaimana publik seolah dicelikan dengan capaian pemerintahan sekarang. Apa yang gagal dicapai periode lalu, kini terlaksana dengan  baik. Persoalan yang ada malah cenderung warisan masa lalu.
Mengapa Anies-AHY?
Mereka telah menciptakan citra sebagai jagoan oposan yang konsisten. Mereka tidak perlu lagi membangun apa-apa selain tetap dengan jalan ini di dalam memberikan gambaran kepada publik. Nama mereka sudah cukup kuat dengan gambaran oposan militan itu. Apakah efektif atau tidak diukur pada pilkada 22.
Parpol  jelas ada Demokrat dengan menggandeng PKS misalnya, atau satu partai besar lain, sudah bisa melaju dengan baik untuk membawa pasangan AA menjadi salah satu calon gubernur dan wakil gubernur di DKI. Memang sangat tidak mudah. Toh masih ada juga Nasdem sama-sama partai menengah, jika ramai-ramai kan jadi gede.
Ini titik penting untuk menjadi sesuatu di 2024. Tanpa kemenangan di pilkada Jakarta maka akan habis untuk keduanya. Mengapa? Tidak cukup panggung untuk mempresentasikan kinerja, capaian, dan prestasi mereka. Klaim atas prestasi dan menuding pihak lain gagal susah untuk terus menerus dilakukan.
Kekuatan parpol memang masih cukup samar, namun potensi itu tetap ada. Politik yang memiliki kredo lawanmu adalah kawanku. Hal yang sangat umum dan biasa terjadi dalam perpolitikan. Lihat saja Jokowi dan Prabowo bisa berduet dengan baik-baik saja.