Kamis pekan kemarin, merupakan pengalaman yang bagi saya luar biasa. Diminta membantu Kner Maurin, jadilah saya yang bukan siapa-siapa ikutan kelas S2. Ada beberapa hal yang membuat tidak nyaman,
Pertama, mau omong apa. kebiasaan nulis asal saja, free writing, tanpa konsep, lha berbicara di depan kelas begini, mau omong apa. Eh ternyata semua berjalan lancar dan relatif baik, Â minimal dari sudut pandang saya pribadi.
Pengantar saya memperkenalkan diri ditambah oleh Kner Maurin, lumayan bisa membuka dan menjadi jembatan antara. Susah juga berjarak, tentu akan lebih mudah ketika langsung berhadapan muka dengan muka.
Kedua, ini zoom, pengalaman baru, sama sekali tidak pernah berhubungan dengan aplikasi ini. Memang sama sekali tidak pernah merasakan perlunya. Beberapa kali memang ada undangan dari berbagai grup dan forum, toh tidak merasakan urgensinya. Nah mengunduh aplikasi, menginstall, dan kemudian mencoba dengan rasa tidak enak, jika ada hambatan.
Syukur semua bisa berjalan dengan sangat lancar dan tidak ada masalah sama sekali. Â Jalannya perbincangan juga tana kendala. Pengalaman pertama yang sangat membantu untuk tidak khawatir.
Ketiga, sedang merawat Ibu yang perlu banyak bantuan. Plus kadang pelupa. Pesan banyak-banyak, bahwa perlu waktu dua jam tidak bisa diganggu, dan syukur semua terselesaikan.
Padahal sering pas main rekaman audio untuk video di kalan media sosial berbagi film, pernah baru mulai sudah ada tamu. Mulai awal lagi tamu lagi. Eh bincang-bincang di kelas ini, tanpa hambatan.
Kelas ini ternyata kelas Internasional, ada dari China, dari Mesir, dari Thailand, Malaysia, dan tentu Indonesia. Kalau tidak salah, kelas ini membahas mengenai Perencanaan Pelajaran, nah berkaitan dengan literasi, akhirnya Kner Maurin mengajak saya untuk berbincang-bincang di sana.
Keberadaan Ibu Dosen yang sangat ramah dan langsung saja menyapa dengan panggilan Mas, seolah sudah kenal lama, membuat suasana cair dan bisa berlangsung dengan sangat baik. Selain berbicara mengenai literasi dan  pada akhirnya menjadi dominan soal masalah dan keprihatinan kependidikan.
Sharing dan saling bertukar pengalaman, ada beberapa hal yang menarik dan bisa menjadi pembelajaran bersama.
Satu, budaya dan kebiasaan membaca itu sangat lemah. Telah ada  upaya jam membaca setiap periode waktu tertentu dengan jumlah menit yang tetap. Contoh, setiap Senin pagi, sekitar 15 menit.
Persoalan yang muncul adalah, apakah itu nanti tidak lagi-lagi jatuh pada seremoni, ritual yang hanya begitu-begitu saja. Lihat saja bagaimana upacara dan sikap cinta tanah air juga tidak banyak memberikan dampak  yang terasa.
Guru sebagai agen perubahan, fasilitator, dan sosok yang diugemi di sekolah, tidak semua pecinta, apalagi sampai maniak buku dan membaca. Bagaimana murid suka membaca jika gurunya saja tidak pernah memperlihatkan minat apalagi kesukaan membaca.
Dua, usai suka dan senang membaca, nanti sangat mungkin akan jadi juga suka menulis. Guru bukan semata membacakan buku ajar, namun juga dimungkinkan menulis buku ajar sendiri. Jelas ini meningkatkan banyak hal bagi guru, sekolah, dan juga peserta didik.
Hal yang sangat perlu dianimasikan, dikenalkan, dan dijadikan bahan bagi guru untuk berlomba-lomba menjadi penulis. Kebiasaan membaca itu menjadi penting.
Tiga, masalah pendidikan jarak jauh, awalnya sudah saya katakan, sangat rentan, anak yang kreatif, memiliki dua gadget, sangat mungkin terjadi, satu alat untuk membaca dan mengerjakan soal, satunya untuk googling atau mencari jawaban dari internet. Ternyata salah satu mahasiswa mengatakan fakta adiknya pernah melakukan hal yang demikian.
Hal yang sederhana sebenarnya bisa menjadi alternatif solusi. Bisa test bentuk uraian, bukan pilihan ganda. Anak diajak eksploratif, bukan memilih yang sangat mungkin mendapatkan bantuan dari internet. Memang guru akan banyak kehilangan waktu.
Alternatif lain dengan test lisan. Anak ditanya dan dijawab bisa dengan jawaban pendek, atau laiknya uraian. Kreatifitas dari pendidik sangat penting.
Empat, tugas sampingan guru itu sangat berat. Administrasi itu bukan pekerjaan remeh dan enteng. Sangat susah lho, jangan bayangkan hanya datang berdiri di kelas dan selesai. Tidak. Persiapan mengajar itu jauh lebih berat.
Kadang, hal-hal yang bisa dialihkan pada petugas administrasi, namun entah belum pernah terdengar adanya upaya membebaskan atau meringankan guru dari kertas model ini. Jika ini dilakukan pegawai lain, sangat mungkin jauh lebih profesional untuk kegiatan utama, belajar dan mengajar.
Lima, usai kuliah itu ya selesai belajar. Padahal tidak demikian. Belajar itu seumur hidup. Ketika orientasi itu gelar dan ijazah, jangan harap ada guru yang pembelajar, ia sendiri juga belajar terus menerus.
Kebiasaan membaca itu perlu dibudayakan, ada keteladanan dan pola yang bisa diikuti. Hal yang sangat susah memang karena pembiaran sekian lama, budaya smartphone yang masif tanpa kesadaran ada kikisan yang sangat kuat.
Lebih memilih yang instan dan mudah menjadi penyakit baru yang tidak disadari. Semua memang harus terjadi dan itu perlu kesadaran bahwa ada masalah yang harus dibenahi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H