Akhir-akhir ini, terutama dua hari ini, lini massa media sosial banyak bertebaran, meme, video, karikatur, dan juga ledekan untuk Demokrat. Apa pasal?Â
Demokrat menjadi salah satu partai politik yang paling getol menolak UU Cipta Kerja. Hal yang konstitusional dan itu ada dalam koridor hukum. Tetapi, jangan lupa, konstitusi benar menjamin, tapi jangan abai soal ranah etis.
Mengapa? UU itu produk barengan, kerja gede, apalagi ini Omnibus Law, Â proses panjang yang di era modern ini demikian mudah mendapatkan apa yang terjadi di balik dinding sekalipun. Nah ketika di ujung mengatakan menolak, apa benar demikian pada awalnya? Ini yang menjadi masalah.
Perilaku yang tidak laik, ketika fokus dengan pilkada dengan memanfaatkan momentum produk negara, wajar banyak pihak yang meradang. Ini bukan soal rival atau teman, atau hanya parpol kecil apa untungnya. Fokusnya jelas pilkada.
Lihat saja, bagaimana demikian masifnya Demokrat menjadi tertuduh utama dan seolah satu-satunya menjadi biang demo rusuh. Â Susah melihat Demokrat mampu keluar dari ini semua.Â
Tidak yakin Demokrat sebagai satu-satunya aktor dan penyandang dana di balik kisruh UU Omnibus Law ini. Â Selain PKS yang juga terang-terangan menolak, toh masih banyak faksi lain yang ikut senang dengan keadaan ini. Toh bukan itu yang menjadi bahan pokok pembicaraan artikel ini.
Tiga hal yang seolah menjadi pemicu hampir semua tudingan dan pandangan pada Demokrat itu terpicu.
Masalah microphon yang dimatikan. Hal yang wajar sebenarnya, mengapa malah seolah mau dibesarkan oleh kubu Demokrat, sasaran pada Puan pula. Genderang  tabuhannya fals dan sumbang parah namun tidak disadari malah seolah makin menjadi.
Ketua Umum Demokrat, AHY meminta maaf pada publik mengenai gagal mendukung buruh. Pihak-pihak yang gerah mulai mencari-cari file lama dan satu demi satu terkuak. Pengulangan demi pengulangan menjadi masalah baru.
Ketiga, Benny K. Harman yang mengatakan hal yang senada dengan garis partai, dan kemudian satu demi satu fakta dibuka, tidak demikian jalannya proses Demokrat itu yang faktual terjadi. benar Fahri yang mengatakan, bagaimana bisa menolak produk hukum pada ujungnya.
Sebelumnya sudah ada rumor melalui media sosial, di mana Demokrat akan menjadi penyandang dana demo besar-besaran. Namanya juga media sosia, bisa benar, bisa salah, atau benar dan salah itu perlu waktu untuk membuktikannya.
Entah kebetulan atau memang benar adanya, eh satu demi satu fakta Demokrat ada di balik itu semua seolah benar. Sekarang bagaimana menjawab, rusuh Jogja ada keterlibatan orang Demokrat, kelas elit. Lucu lah mosok mimpin demo pakai pakaian Demokrat, kampanye apa demo? Maunya si biar kelihatan kalau membela dan bersama buruh.
Bagaimana menjawab, elit lain sedang memantau "jalannya" demo dan rusuh? Persepsi publik bisa saja mengatakan mereka benar-benar mengawal aspirasi buruh. Tetapi bisa juga yang meyakini bahwa mereka sedang memantau bagaimana jalannya rancangan mereka. Ingat, pernyataan dan rumor di media sosial sebelumnya. Ini sama-sama bisa dipertanggungjawabkan runtutan kisahnya.
SBY biasa, turun gunung dan mengatakan bukan mereka yang berlaku demikian. Toh dengan cepat netizen juga menemukan bukti dan pemberitaan, kader mereka mengaku mendukung mahasiswanya untuk demo dan memberikan uang makan. Jelas ini adalah kontradiksi yang mereka sendiri tidak pikirkan akan terkuak.
Menantu-menantunya bernarasi, banyak yang rindu SBY. Keadaan seperti ini malah kampanye, lah dugaan dan juga tudingan kalau mereka menjadi penyandang dana makin kuat. Tidak terbantahkan atau terpatahkan, malah seolah mendapatkan pembenar dan penguat fakta-fakta yang ada.
Demokrat ini kelihatannya merancang dengan cukup rapi, sayang bahwa ini era digital, semua dengan mudah terakses dan bisa terbuka dengan gamblang. Step by step yang mereka maui itu tidak disangka malah saling tuding dan saling menguatkan asumsi awal. Akhirnya belepotan sendiri.
Kredo mereka satu lawan terlalu banyak itu ternyata tidak berlaku, karena memakai topeng, di mana memainkan permainan dua kaki. Wajar banyak pihak yang merasa menjadi korban, dimanfaatkan, dan ditelikung kemudian marah dan mengintai untuk membalas.
Lihat mereka pada masa lalu mendapatkan pimpinan dewan melalui KMP padahal mereka tidak melakukan apa-apa untuk pemilu bersama KMP. Itu hanya salah satu faktanya. Sering memainkan politik dua kaki. Nah kini siap-siap panen saja.
Tidak mungkin ini tidak ada yang  menyeting semuanya. Mosok semua ada bukti dan sangat jelas, gamblang, dan terang benderang begitu. Meminjam istilah Pak Beye. Benar Demokrat sangat kecil, tidak cukup signifikan, tetapi perlakukan ketika gede dan berkuasa, siapa yang tahu bukan?
Belepotan tudingan penyandang dana susah dilepaskan. Sama dengan ketika katakan tidak pada [hal] korupsi itu hingga kini tetap lekat pada si mercy ini. Skenario  gagal yang memilukan sebenarnya.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H