Pagi-pagi dapat gambar ucapan selamat datang rick Thohir di partai Nasdem. Catatan yang mengawali, tahu juga dia butuh kendaraan parpol untuk 2024. Seolah hidup bersama sebagai sebuah bangsa hanya pilpres. Suka atau tidak, ya memang masih demikian. Itu semua memang harus dijalani.
Lihat saja bagaimana UU Cipta Kerja dimanfaatkan Demokrat dan PKS untuk unjuk kebolehan, seolah ada pada pihak buruh dan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang kejam terhadap rakyat sendiri, dan cenderung memihak pada pengusaha.
Wajar dan sah-sah saja sebagai sebuah proses demokrasi yang tidak akan sekali jadi. Toh rekam jejak sangat mudah dilihat kembali seperti apa rupa mereka selama ini. Itu saja, sederhana, dan tidak usah repot. Rakyat makin cerdas dan elit feodal makin cemas, sehingga perilaku ugal-ugalan mereka seolah tidak terkendali.
Cukup wajar, ketika baru saja, Refli Harun mengatakan jika Gatot dan Anies akan sangat dasyat, ini akan ada dalam ulasan lain, namun langkah ET untuk masuk pada parpol sangat wajar. Pengalaman Prabowo, Surya Paloh, Â dan Wiranto itu menjadi pelajaran berharga. Belajar pada SBY, berbeda dengan Jokowi dengan nonpartainya. Atau pengalaman Ahok di Jakarta, keberadaan partai masih sangat menentukan bagi perpolitikan di Indonesia.
Salah satu survey merilis hasil penelitian mereka, bahwa ET termasuk menteri yang sangat disukai publik. Keyakinan atas kinerjanya sangat baik. Wajar ketika banyak pihak mulai memantau dan menimbang-nimbang ET untuk menjadi salah satu kandidat presiden 2024. Kesuksesannya mengadakan Asian Games dan menjadi ketua timses Jokowi tentu menjadi kredit point yang sangat tinggi bagi Erick Tohir.
Perjalanan menteri yang masih baru setahun juga memberikan gambaran cukup dan relatif baik. Tidak baik banget, tetapi tidak juga buruk. Persoalan yang ada di sana, di Kemen BUMN bukan sembarangan. Masalah sekian puluh tahun, bagaimana BUMN menjadi sapi perah, ATM berjalan bagi elit negeri ini.
Lihat saja bagaimana kebijakan, kadang masih sebatas wacana dan gagasan saja sudah menimbulkan polemik, demo sana sini, ancaman bertubi-tubi. Apalagi menjalaninya. Sangat tidak mudah. Profesional sebagai pengusaha, berhadapan dengan politikus, dengan catatan pula, politikus busuk, tamak, pemburu rente itu sangat sulit. Nah, ketika bisa berjalan dengan baik, bukan tertatih saja sudah luar biasa.
Kampanye tak resmi, dan itu bukan ditujukan ke sana tentu saja. Prestasi menjadi sebuah dagangan di era modern. Jangan lagi bicara darah atau keturunan. Capaian dan visi serta misi ke depan itu menjadi penting. Itu semua telah terlihat. Kemampuan menghadapi para petualang politik juga ternyata lumayan sukses, bagi orang yang baru terjun pada dunia politik praktis. Mungkin ini adalah sebuah bakat alam.
Surya Paloh pada awal-awal pemerintahan Jokowi-KHMA, merangkul dan memeluk Anies Baswedang. Jelas ini adalah politik. Para pelaku dan pelakon politik sedang menjual drama. Apa itu? kepentingan. Ingat apapun para pelaku politik yang menyatukan adalah kepentingan.
Makin ke sini, kedekatan mereka makin jelas. Bagaimana pembelaan di masalah-masalah Pemrov DKI, ada dua calon matahari pada posisi yang identik. Persoalannya adalah, benar ET kurang dan belum begitu populer sebagai pemain politik dibandingan Anies Baswedan.
Persoalan berikut yang muncul adalah, kampanye yang dilakoni Anies Baswedan selama ini justru berkebalikan dengan apa yang ET tempuh. Anies benar menjadi pembicaraan publik, tetapi dengan tanda negatif. Media diundang untuk meliput konpresnya.
Berkebalikan dengan ET yang terliput media karena trerobosan dan kinerjanya di dalam mengatasi masalah demi masalah di BUMN yang ada. Garuda, Pertamina, dan banyak lagi masalah yang diungkap dan sedang dibenahi karena ngawur dan ugal-ugalannya selama ini.
Ketenaran yang berbeda dengan langkah dan mutu yang lain pula tentunya. Dua point ET memimpin atas Anies. Menjadi anggota secara penuh pada Nasdem. Berbeda dengan Anies yang pasti kesulitan untuk mampu memilih partai mana. Memainkan banyak kaki yang sangat mungkin malah menjadi bumerang. Pilihan yang sama-sama sulit.
Basis massa pendukung cenderung agamis, narasi yang dibangun selama ini juga agamis. Nah ketika memilih partai tentu tidak semudah apa yang ET lakukan. Semisal ia masuk Nasdem, sangat mungkin basis massanya akan hilang. Mereka cenderung fanatis dan buta, susah melihat yang berbeda. Di sini Anies tersandera.
Kaum nasionalis juga sudah ogah dan enggan melihatnya sebagai seorang yang nasionalis lagi. Reputasi dia sebagai seorang nasionalis itu sudah sirna. Pilihan yang memang sempat membuatnya berhasil menjadi gubernur, itu saja.
Jika benar, ingat jika benar demikian, ET masuk Nasdem, berarti lebih memungkinkan ET melaju menjadi bakal calon 24 dibandingkan oleh Anies Baswedan. Tentu saja namanya politik itu cair, dinamis, dan apalagi ala-ala Indonesia, yang segalanya bisa terjadi.
Demokrasi masih latihan, jadi wajar ketika fokus hanya pada pemilihan, setelah terpilih ngaco, ugal-ugalan, ya risiko. Tahun 24 masih cukup lama, tetapi geliat, langkah, dan tapak ke sana sudah dimulai.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H