Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Mahfud MD Membantah Presiden

19 September 2020   19:31 Diperbarui: 19 September 2020   19:36 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Mahfud MD Membantah Presiden

Menarik apa yang terjadi dengan media sosial di negeri ini. Baru-baru ini,  presiden PKS menyindir Menkopolhukam bahkan presiden, merespons sebuah judul pemberitaan media. Dalam sebuah berita tertulis, Mahfud, bahkan presiden pun tidak berdaya menghadapi penegak hukum.

Pernyataan yang jelas demi kepentingan menarik klik dan pembaca, karena tidak utuh konteksnya. Tidak berdaya yang dimaksud adalah tidak bisa mengintervensi penegak hukum dan penegakan hukum. Mau presiden, menkopolhukam, atau siapapun tidak akan bisa dan bahkan tidak boleh menekan, mencampuri, atau ikut terlibat, serta mengurusi proses hukum. Idealnya demikian.

Berbeda dengan  menkopolhukam dan presiden tidak berdaya menghadapi penegak hukum dan penegakan hukum. Sama pula dengan judul di atas, bagaimana Pak Mahfud membantah Presiden PKS, bukan Presiden Jokowi atau Presiden RI. Toh begitu juga akan ada yang terjebak oleh judul.

Beberapa hal yang sangat menarik dari pernyataan Mahfud, Sohibul Imam, dan kemudian bantahan kembali oleh Mahfud.

Pak Mahfud menyatakan sebuah hal yang normatif, wajar, dan memang demikian adanya. Jika presiden dan Menkopolhukam bisa mengatur penegak dan penegakan hukum, lha malah kembali ke Orba. Maunya demikian? Jelas  tidak,  ini kan mau mempermainkan emosi warga saja ala PKS.

Senada dan identik dengan apa yang Hidayat Nur Wahid ketika membuat tulisan via media sosial mengenai pembunuhan pengurus masjid. Persoalan keuangan dikaitkan dengan politik dan ideologi. Apakah tidak tahu, atau sengaja? Aneh dan lucu kalau tidak tahu. Jika memang kemampuannya segitu, ya miris saja, sekelas mimpinan  MPR eh kualifikasi memahami berita dan kejadian serendah itu.

Sangat kecil kemungkinan  selevel itu, lebih meyakinkan jika itu adalah cara berpolitik. Menyembunyikan sebagian fakta demi kepentingan sesaat dan sendiri. Khas banget, dan ternyata tidak lama ada yang memainkan narasi dengan cara yang senada.

Tanggapan balik dari Mahfud sangat simpatik, bagaimana perlu ia menanggapi, karena posisi Sohibul, tentu bukan dengan cara merendahkan, namun dengan menggunakan bahasa yang pantas. Keren cara menjawabnya. Bagaimana keberadaan Sohibul dengan pengikutnya itu bukan sembarangan, bukan orang biasa.

Boleh lho diterjemahkan atau dimaknai, selevel presiden PKS itu ternyata pemahaman serendah itu, atau juga, lha kalau kelas presiden saja demikian, bagaimana rakyat, akar rumput, atau anggotanya. Ini sah-sah saja lho, sama juga dengan ketika Sohibul memaknai pernyataan juga senaif itu kog.

Relatif kecil kemungkinan mau Sohibul dan juga Hidayat itu hanya membaca judul dan kemudian merespons dengan gegap gempita. Mengapa kecil?

Mereka menggunakan status, tayangan, dan konten itu dengan maksud, ada keinginan, bukan hanya iseng dan hanya  bersenang-senang dalam waktu senggang. Ini bagian dari pekerjaan. Jadi, mereka pasti tahu dengan baik isi dan maksud pernyataan atau berita itu. Karena ada maksud dan kehendak sesuai dengan kepentingan sendiri, maka penyembunyian dari sebagaian informasi itu sangat menentukan.

Penusukan Syekh Ali Jaber itu pun demikian. identik dengan kisah Ratna Sarumpaet, faktanya adalah  muka bengkak, soal bengkak karena operasi, oleh sebagian pihak dikatakan sebagai pemukulan oleh orang cepak dan sebagainya. Maksudnya mau mendeskreditkan pihak lain dengan muka bengkak itu. Sama fakta penusukan terjadi ketika menjadi-jadi, ada komunislah, nama yang berbau agama berbeda lah, dan seterusnya, maunya ke mana?

Para penggaung ini sedikit banyak tahu kog kebenaran, atau sebagian ketidaklogisan, hanya karena kepentingan, maka mereka menggunakan itu sebagai alat, senjata, dan mendapatkan keuntungan. Mengapa terjadi demikian, terulang lagi?

Sikap kritis sebagian anak bangsa ini tumpul, ketika sudah berbicara agama, pemerintah, ditambahi ulama atau komunis. Hal yang krusial ini jelas diketahui dengan sangat baik oleh elit yang kemudian menjadi-jadi diulang-ulang di tengah massa.

Kebiasaan membaca judul, sebagian isi dan sudah memberikan tanggapan dengan berapi-api. Klasik, khas pilpres dan pelaku media sosial. Lagi-lagi hal ini yang dimanfaatkan oleh beberapa el negeri yang suka rusuh dan budaya instan di dalam mendapatkan peluang dan keuntungan politik.

Efek salah satu dari demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan bersuara, sekalipun itu ngaco dan ngawur. Tetapi jangan lupa, ranah etis, jangan abai akan kebebasan yan g bertanggung jawab, bukan ugal-ugalan.

Ranah inilah memang penegakan hukum dan penegak hukum sangat lemah, tidak berdaya, dan seolah tidak ada. Kala menghadapi tokoh agama, elit politik sekaligus agama, berkali ulang membuat tayangan, ujaran, dan tampilan media sosial separo benar menyembunyikan fakta, dan tidak ada tindak lanjut sama sekali.

Ujung-ujungnya kalau kepepet akan mengatakan dibajak, atau pemerintah alergi kritik, otoriter, membatasi kebebasan. Lha bebas juga ada batasnyalah karena kebebasan pihak lain. Bagaimana  bisa bebas kog kebohongan atau menyembunyikan sebagian fakta.

Masalah ini memang sangat rumit, karena abai sikap bertanggung jawab, bagian utuh dari demokrasi itu sendiri. Masih banyaknya pihak yang memuja demokrasi sebagai keuntungan, namun abai akan konsekuensinya, di mana sikap dewasa, bertanggung jawab, dan mau setia akan konsekuensinya.

Pihak-pihak yang biasa berteriak demokratis, namun sekaligus penghianat demokrasi sebenarnya juga hanya itu-itu saja kog. Mereka dipahami, sudah dikenali dari reputasinya yang begitu-begitu saja juga.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun