Pagi-pagi tertawa geli, ditag rekan di media sosial. Ada rekan alumni seminari katanya. Ketika membuka, mau tertawa tidak lucu, mau sedih juga buat apa. Tetapi perlu beberapa hal untuk disampaikan kepada khalayak, agar menjadi pembelajaran bersama.
Tulisan ini, adalah tulisan kali yang kesekian membahas mengaku mantan seminaris, mantan pastor, dan atau mantan biarawan-biarawati, namun ngaco. Gereja, hirarkhi mungkin merasa tidak dirugikan, tidak ada pentingnya membahas atau menjawab atau membalas. Benar, tidak ada manfaatnya. Namun, jangan lupa, membiarkan kebohongan, dan ada pula yang menikmati keadaan salah juga termasuk tidak baik.
Beberapa hal yang layak dicermati dan dijadikan perhatian adalah sebagai berikut;
Jemaah, para pendengar demikian menikmti, kagum, dan merasa ada sebuah berkah, karunia, bahwa mereka mendengar orang yang telah mendapatkan hidayah, bertobat, dan menjadi sama dengan mereka. Namun, apakah itu benar demikian?  Tidak sepenuhnya benar.  Saya pribadi tidak peduli mau ada yang mau mualaf, atau bertobat, atau apapun  namanya. Saya pun punya teman sangat dekat, eksem juga menjadi Muslim. Tidak menjadi soal. Relasional, bukan soal agama atau label lain.
Saya bahkan sering menasihati untuk belajar mengaji, melakukan ibadah sesuai dengan agama barunya. Ini bukan sok-sokan, asli, bagaimana orang memilih namun tidak menjalani. Bisa ditanya, orangnya baru saja membuat akun di Kompasiana, namun belum menulis.
Pengakuan ibu yang menglaim lulusan dan selesai dari seminari  yang layak dijadikan pembelajaran adalah ini;
Ia mengaku lulusan SD, SMP, hingga SMA, di sekolah Katolik. Hal yang  masih umum, normal, dan tidak ada masalah. Ia lanjutkan pengakuannya kemudian ia menikah, masuk seminari. Dobel ngaconya.
Awalnya saya kira seminari milik Gereja Protestan, ada yang menggunakan istilah seminari juga, artinya masih sangat mungkin terjadi. Tetapi, Â ia menjawab pertanyaan seorang bapak, kalau ia berasal dari Gereja Katolik. Seminari di Gereja Katolik, tidak pernah menerima siswa perempuan, apalagi sudah menikah. Pria menikah saja tidak pernah.
Berbeda ketika ia mengaku dari fakultas teologi, sangat mungkin. Teman kuliah saya ada seorang ibu, jadi sangat mungkin. Namun itu bukan seminari. Ini kengacoan pertama.
Kedua, ia mengaitkan seminari dengan STT, lagi-lagi mencampuradukan dua peristilahan sekolah antara kebiasaan Gereja Katolik dan Gereja Protestan. STT biasa dipakai oleh sekolah dan para peserta didik dari Gereja Protestan. Jika Katolik biasanya STFT atau FT, dan itu sangat mungkin bisa dicek via google pasti ketemu kog.
Misioaris apa Tim SAR.
Si ibu mengaku menjadi misionaris, lucunya maunya menerangkan apa itu misionaris, ia mengatakan misionaris itu orang yang menyelamatkan hidup orang. Lha misionaris apa tim SAR? Misionaris itu orang yang bertugas ke tanah misi untuk mengenalkan iman kekristenan. Benar sangat mungkin untuk menyelamatkan, namun konteksnya tidak sebagaimana yang ia nyatakan.
Beberapa hal itu terlihat, bagaimana ngaco dan ngocolnya si ibu, buat apa sih demi mendapatkan kekaguman, tepuk tangan, dan juga wooow dari peserta harus mengaku ini dan itu. Sedikit memang menjelekan 'baju" lamanya, hanya pada akhir video mengatakan kasihan yang ada "di sana", jelas yang dimaksud adalah para penganut Katolik. Tepuk tangan dan amin menjadi  penyemangat.
Lagi dan lagi, model-model demikian akan makin banyak. Mengapa?
Ada panggung, ada pula manfaat finansial dari sana. Ini yang perlu menjadi kesadaran bersama. Bagaimana bisa, kegiatan agama, ibadah, kog isinya kebohongan dan menjelekan pihak lain. Jujur, mana ada agama yang memerintahkan menebarkan kebohongan dan kejelekan sih?
Saya tidak bosan menuliskan hal model ini, demi menjaga hidup bersama menjadi lebih baik. Mengapa harus memaksakan sama? Wong berbeda itu kodrati. Â Mabuk agama, suka banget kalau tambah pengikut dan ngamuk kalau ada yang keluar? Aneh dan lucu. Tidak ada yang luar biasa sebenarnya.
Agama itu bukan soal banyak dan sedikit, mayoritas-minoritas, namun bagaimana berkualitas dan bisa menjadikan manusia lebih manusiawi dan mendekatkan diri pada Pencipta. Bagaimana bisa dekat pada Yang Ilahi, ketika isinya curiga, menghakimi pihak lain pasti salah.
Orang beragama sudah seyogyanya makin mendalam, memeriksa batin, apakah sudah selaras dengan tuntutan agama dan Kitab Suci, makin suka damai, memilih cinta dari perselisihan, atau mendapatkan persamaan dari pada mengulik perbedaan.
Peziarahan bersama menuju titik akhir, pada Sang Khaliq, lha kalau berziarah bersama, bukan persaingan sejatinya. Bagaimana orang berjalan menuju titik akhir yang sama, mau jalan apa saja kan tidak ada yang bisa menilai mana yang lebih baik dan lebih buruk.
Mutu hidup justru yang menjadi tanda. Petunjuk paling pas itu bukan semata klaim, namun bagaimana hidup yang lebih baik, makin manusiawi, makin religius, bukan kata kosong, namun dihidupi dalam langkah laku harian.
Harapannya sih, semoga tidak ada lagi yang berlaku demikian, namun apa iya? Ketika masyarakat negeri ini masih suka hingar bingar kesamaan, mayoritas, dan sikap kritis beragama adalah bencana?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H