Si ibu mengaku menjadi misionaris, lucunya maunya menerangkan apa itu misionaris, ia mengatakan misionaris itu orang yang menyelamatkan hidup orang. Lha misionaris apa tim SAR? Misionaris itu orang yang bertugas ke tanah misi untuk mengenalkan iman kekristenan. Benar sangat mungkin untuk menyelamatkan, namun konteksnya tidak sebagaimana yang ia nyatakan.
Beberapa hal itu terlihat, bagaimana ngaco dan ngocolnya si ibu, buat apa sih demi mendapatkan kekaguman, tepuk tangan, dan juga wooow dari peserta harus mengaku ini dan itu. Sedikit memang menjelekan 'baju" lamanya, hanya pada akhir video mengatakan kasihan yang ada "di sana", jelas yang dimaksud adalah para penganut Katolik. Tepuk tangan dan amin menjadi  penyemangat.
Lagi dan lagi, model-model demikian akan makin banyak. Mengapa?
Ada panggung, ada pula manfaat finansial dari sana. Ini yang perlu menjadi kesadaran bersama. Bagaimana bisa, kegiatan agama, ibadah, kog isinya kebohongan dan menjelekan pihak lain. Jujur, mana ada agama yang memerintahkan menebarkan kebohongan dan kejelekan sih?
Saya tidak bosan menuliskan hal model ini, demi menjaga hidup bersama menjadi lebih baik. Mengapa harus memaksakan sama? Wong berbeda itu kodrati. Â Mabuk agama, suka banget kalau tambah pengikut dan ngamuk kalau ada yang keluar? Aneh dan lucu. Tidak ada yang luar biasa sebenarnya.
Agama itu bukan soal banyak dan sedikit, mayoritas-minoritas, namun bagaimana berkualitas dan bisa menjadikan manusia lebih manusiawi dan mendekatkan diri pada Pencipta. Bagaimana bisa dekat pada Yang Ilahi, ketika isinya curiga, menghakimi pihak lain pasti salah.
Orang beragama sudah seyogyanya makin mendalam, memeriksa batin, apakah sudah selaras dengan tuntutan agama dan Kitab Suci, makin suka damai, memilih cinta dari perselisihan, atau mendapatkan persamaan dari pada mengulik perbedaan.
Peziarahan bersama menuju titik akhir, pada Sang Khaliq, lha kalau berziarah bersama, bukan persaingan sejatinya. Bagaimana orang berjalan menuju titik akhir yang sama, mau jalan apa saja kan tidak ada yang bisa menilai mana yang lebih baik dan lebih buruk.
Mutu hidup justru yang menjadi tanda. Petunjuk paling pas itu bukan semata klaim, namun bagaimana hidup yang lebih baik, makin manusiawi, makin religius, bukan kata kosong, namun dihidupi dalam langkah laku harian.
Harapannya sih, semoga tidak ada lagi yang berlaku demikian, namun apa iya? Ketika masyarakat negeri ini masih suka hingar bingar kesamaan, mayoritas, dan sikap kritis beragama adalah bencana?
Terima kasih dan salam