Sosok di Balik KAMI, demi Hasrat Tak Tahan  2024 dengan Pola 2019
Deklarasi KAMI 18 Agustus 2020, dengan brand menyelamatkan Indonesia, dengan punggawa itu lagi itu lagi, sasarannya pun sama, Jokowi zolim, turun, dan komunis, China. Barang lama yang didaur ulang lagi dan lagi. Beda penyuara utama, tetapi kontributornya sama saja. Orangnya ya itu-itu saja. Hanya bolak-balik peran, dan penyuara.
Beberapa kekhasan 2019 yang muncul lagi adalah;
Klaim sepihak. Bagaimana mereka mengaku akan dihadiri sekian banyak pihak dan tokoh. Faktanya jauh dari apa yang digembar-gemborkan. Hal yang berlaku sejak kisah Ahok prapilkada DKI, pilpres 2019, dan kini terulang lagi. Ingat, para punggawanya identik. Para penggaung dan pelakunya juga relatif sama.
Politik korban, playing victim, mengaku pemerintah atau penguasa ketakutan, sehingga melakukan intimidasi. Padahal sama sekali tidak ada. Separo halu  juga sih, perilaku yang sama. Maling teriak maling, copet teriak copet, dan perilaku munafik demi mendapatkan simpati dengan memainkan politik korban.
Pengulangan basi yang selalu diulang-ulang. Ingat massa sudah lebih cerdas, miris bahwa elit malah maaf makin bloon hanya karena kebencian. Cek saja hal yang sama juga terjadi di masa prapilpres.
Oposan lebih dari oposan. Entah di balik layar, atau memang tidak ada keterlibatan para elit parpol. Cenderung lebih banyak oposan dari para pelaku politik berpartai. Mereka bukan orang partai, pernah menjadi pejabat ini dan itu, kemudian tersingkir dengan berbagai-bagai alasan, dan ujungnya adalah KAMI.
Mengaku medsos dibajak. Lago-lagi khas perilaku orang dan kelompok ini. bagaimana tiba-tiba medsosnya dibajak. Lucunya, kali ini yang mendapat peran drama pembajakan medsos adalah Din Syamsudin. Usai riuh rendah di media sosial, ia mengaku sudah lama tidak aktif dalam akun media sosial tersebut.
Pihak mereka, mengatakan kalau akun Din dikuasai pihak lain. Senada dengan Din yang merasa tidak lagi beraktivitas dalam akun tersebut. Hal yang wajar, ada yang aneh, ketika pihak lain mengatakan ada yang mengatakan dikuasai pihak lain, dan kemudian  kog mau dinonaktifkan. Lha memangnya kalau sudah dibajak si pemilik masih bisa menonaktifkannya? Kelihatannya sih ada yang keseleo atas peristiwa ini.
Ingat masa kampanye lalu juga ada model demikian, dan kali ini si pelaku juga ikut menyuarakan soal akun Din Syamsudin ini. Apakah ini artinya mereka  biasa menggunakan pola ini?
Menggunakan segala cara demi mendapatkan panggung. Salah satu yang tidak elok adalah menghadirkan salah satu duta besar, Duta Besar Palestina. Datang dengan pemahaman perayaan kemerdekaan RI, tentu ia mau-mau saja. Padahal ada agenda lain dan itu sangat tidak patut. Hal yang lagi dan lagi kebiasaan mereka. Menyembunyikan sebagian fakta dan kebenaran.
Komunis menjadi mainan lagi. Hal yang sangat bosan untuk mengupas dan mengulasnya. Ahli mempermainkan komunis ada di sana. Gatot Nurmantyo, bagaimana ia begitu getol menghidup-hidupkan isu ini. Mainan siapa sih? Orba bagaimana mereka naik ke tampuk kekuasaan dan menjadikan monster bernama komunis membuat rakyat senyap puluhan tahun.
Cap dan label merah yang sangat mengerikan, selalu didengung-dengungkan lagi dan lagi. Padahaal secara faktual Tap MPRS masih berlaku, tidak pernah ada upaya mencabut, kecuali oleh almarhum Gus Dur. Sangat jauh dari apa yang kini dikatakan. Pun di China pun jauh lebih kapitalistik dari Amrik sekalipun. Hanya Korut yang masih mimpi dengan komunis, tidak ada landasan yang cukup untuk mengatakan kalau komunis akan malah masih hidup di Indonesia.
Mainan yang basi, bakar bendera palu arit, anggotanya jutaan, lha apa fungsi panglima TNI dulu  kog tidak dibubarkan, diusut secara tuntas. Apa iya, hanya dalam hitungan tahun, usai Gatot Nurmantyo turun buru-buru komunis dan PKI hidup lagi dan sudah 60 juta. Hebat banget, dalam hitungan bulan sudah sedemikian gede. Partai politik di  Indonesia tidak ada yang mampu menandinginnya lho.
Politik identitas menguat. Ideologi ultrakanan yang merasa terusik oleh keberadaan kiri, sama dengan poin pertama, di atas. Klaim sepihak dan juga semihalu dengan mengatakan hal yang tidak ada seolah ada, alias mengada-ada. Lha tidak ada tekanan mengaku ditekan, sama juga komunis itu sudah usang, toh diulang.
Dua hal yang memang sangat laris manis, ketika komunis dan agamis diasongkan. Satunya menebar teror ketakutan cap di jidat komunis, satunya tawaran agin surga yang akan mengamankan. Entah sampai kapan, elit ini berkutat begitu saja, ketika rakyat malah sudah beranjak jauh.
Syukur bahwa pemerintah, Â Jokowi dalam hal ini sabar, tidak perlu menyikapi dengan berlebihan, dan reaktif di muka publik. Ini penting, sehingga mereka tidak kalap dan merasa gede. Sama juga menghadapi anak tantrum, biar saja guling-guling. Â Ditanggapi dengan panik mereka akan menjadi. Ternyata Jokowi jauh lebih dewasa ketika memimpin. Anak-anak tua pada tantrum dibiarkan. Ada aksi penangkapan atau pembubaran, sama juga memberikan minyak pada bara yang memang sedang memanas.
Sikap usai pilpres yang lalu dicoba lakukan. Pemisahan dan  penegakan hukum saat itu masih berdampak. Tambahan beberapa pihak yang baru terlempar memang menjadi amunisi baru. Toh ini tidak gede dampaknya. Hanya  karena para pelaku adalah pemain media sosial, dan gegap gempita seolah ini adalah sangat besar.
Anak-anak yang ngambeg karena mainannya disembunyikan karena nilai raportnya buruk, kebanyakan main. Nah ketika mereka meradang, bapak yang bijak tidak akan membentak, namun menanti kejengkelan si anak reda dan kemudian diberi tahu dengan pelan-pelan.
Penangkapan, pembubaran, dan penindakan itu yang mereka nantikan. Menjadi korban beneran dan itu yang mau dikapitalisasi. Hal yang mereka sengaja. Tentu paham konsekuensinya dan mereka sudah membuat plan lanjutan. Ketika didiamkan, ya sudah. Hanya gaduhd an riuh iya. Tetapi ketika fokus bekerja, bising itu tidak kerasa.
Ribut karena tidak beraktivitas dan memiliki kesibukan yang bermakna. Miris makin tua bukan makin bijak, malah makin bingung dengan apa yang mereka maui.  Kekuasaan dibalut sakit  hati, banyaknya sponsor dengan uang tak berseri membuat mereka gegap gempita di tengah pembodohan publik.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI