Komunis menjadi mainan lagi. Hal yang sangat bosan untuk mengupas dan mengulasnya. Ahli mempermainkan komunis ada di sana. Gatot Nurmantyo, bagaimana ia begitu getol menghidup-hidupkan isu ini. Mainan siapa sih? Orba bagaimana mereka naik ke tampuk kekuasaan dan menjadikan monster bernama komunis membuat rakyat senyap puluhan tahun.
Cap dan label merah yang sangat mengerikan, selalu didengung-dengungkan lagi dan lagi. Padahaal secara faktual Tap MPRS masih berlaku, tidak pernah ada upaya mencabut, kecuali oleh almarhum Gus Dur. Sangat jauh dari apa yang kini dikatakan. Pun di China pun jauh lebih kapitalistik dari Amrik sekalipun. Hanya Korut yang masih mimpi dengan komunis, tidak ada landasan yang cukup untuk mengatakan kalau komunis akan malah masih hidup di Indonesia.
Mainan yang basi, bakar bendera palu arit, anggotanya jutaan, lha apa fungsi panglima TNI dulu  kog tidak dibubarkan, diusut secara tuntas. Apa iya, hanya dalam hitungan tahun, usai Gatot Nurmantyo turun buru-buru komunis dan PKI hidup lagi dan sudah 60 juta. Hebat banget, dalam hitungan bulan sudah sedemikian gede. Partai politik di  Indonesia tidak ada yang mampu menandinginnya lho.
Politik identitas menguat. Ideologi ultrakanan yang merasa terusik oleh keberadaan kiri, sama dengan poin pertama, di atas. Klaim sepihak dan juga semihalu dengan mengatakan hal yang tidak ada seolah ada, alias mengada-ada. Lha tidak ada tekanan mengaku ditekan, sama juga komunis itu sudah usang, toh diulang.
Dua hal yang memang sangat laris manis, ketika komunis dan agamis diasongkan. Satunya menebar teror ketakutan cap di jidat komunis, satunya tawaran agin surga yang akan mengamankan. Entah sampai kapan, elit ini berkutat begitu saja, ketika rakyat malah sudah beranjak jauh.
Syukur bahwa pemerintah, Â Jokowi dalam hal ini sabar, tidak perlu menyikapi dengan berlebihan, dan reaktif di muka publik. Ini penting, sehingga mereka tidak kalap dan merasa gede. Sama juga menghadapi anak tantrum, biar saja guling-guling. Â Ditanggapi dengan panik mereka akan menjadi. Ternyata Jokowi jauh lebih dewasa ketika memimpin. Anak-anak tua pada tantrum dibiarkan. Ada aksi penangkapan atau pembubaran, sama juga memberikan minyak pada bara yang memang sedang memanas.
Sikap usai pilpres yang lalu dicoba lakukan. Pemisahan dan  penegakan hukum saat itu masih berdampak. Tambahan beberapa pihak yang baru terlempar memang menjadi amunisi baru. Toh ini tidak gede dampaknya. Hanya  karena para pelaku adalah pemain media sosial, dan gegap gempita seolah ini adalah sangat besar.
Anak-anak yang ngambeg karena mainannya disembunyikan karena nilai raportnya buruk, kebanyakan main. Nah ketika mereka meradang, bapak yang bijak tidak akan membentak, namun menanti kejengkelan si anak reda dan kemudian diberi tahu dengan pelan-pelan.
Penangkapan, pembubaran, dan penindakan itu yang mereka nantikan. Menjadi korban beneran dan itu yang mau dikapitalisasi. Hal yang mereka sengaja. Tentu paham konsekuensinya dan mereka sudah membuat plan lanjutan. Ketika didiamkan, ya sudah. Hanya gaduhd an riuh iya. Tetapi ketika fokus bekerja, bising itu tidak kerasa.
Ribut karena tidak beraktivitas dan memiliki kesibukan yang bermakna. Miris makin tua bukan makin bijak, malah makin bingung dengan apa yang mereka maui.  Kekuasaan dibalut sakit  hati, banyaknya sponsor dengan uang tak berseri membuat mereka gegap gempita di tengah pembodohan publik.
Terima kasih dan salam