Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ibas, Teruslah Bersuara, Jangan Takut!

8 Agustus 2020   11:31 Diperbarui: 8 Agustus 2020   11:39 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ibas, Teruslah Bersuara, Jangan Takut

Ada anak tetangga, usai kisaran kelas dua atau tiga sekolah dasar. Pergi ke tetangga yang bekerja memulung, meminta kardus untuk main rumah-rumahan. Diberilah, namanya anak dan tetangga. Beberapa hari kemudian si anak datang lagi untuk menjual kardus yang ia minta itu. Lucu dan  menjengkelkan tentunya. Si pemulung ini mengatakan, tidak membeli kardus, coba ke tempat pengepul, jarak kisaran 300-an meter.

Si anak semangat ke sana dan dapatlah uang Rp. 2.500,00. Namanya juga anak, mau apa lagi coba? Kreatifitas dan cara mendapatkan uang jajan antara lucu dan nakal ada juga. Ini kisah nyata yang baru saja terjadi.

Eh dalam dunia politik juga ada hal yang identik. Ibas kemarin mengatakan ekonomi zaman Pak Beye, bapaknya selalu positif, tentu ini mau meledek perlambahan ekonomi saat ini karena pandemi. Artikel ini bukan mau menyorot benar atau salah pernyataan ini secara ekonomi. Ada hal yang lebih menarik bagi saya untuk dilihat.

Ibas itu pemain politik, tetapi jarang atau bahkan seolah tidak pernah bicara. Ya wajar ketika bicara, dan kecenderungan salah, kemudian cepat-cepat menjadi konsumsi publik. Apalagi ini era mediaa sosial. Pro dan kontra menjadi santapan lezat. Paling tidak ada dua kali Ibas bicara dan menjadi lelucon. Pertama soal ia adalah putera Indonesia. Konteks negeri ini adalah republik, seolah ia adalah putera mahkota. Padahal ia masih juga memiliki kakak.

Wajar ketika mendapatkan serangan dalam bentuk lelucon dan kelucuan lain yang menjadi riuh rendah. Diam sekian lamanya, dan kini muncul lagi mengenai pandemi dan ekonomi. Wajar sebenarnya namanya politik.

Lah mosok kalah dengan keponakannya yang sudah berbulan lalu bukan?  Mosok kalah sama ponakan, kan gak asyik. Soal benar atau salah urusan berbeda.

Pilihan politik Demokrat sudah jelas. Model menaikan citra diri dengan menjatuhkan pihak lain. penelusuran dengan sangat mudah akan diperoleh hasil seperti apa. Ingat ini  era keterbukaan. Internet sangat mudah dan murah diakses. Apa susahnya mencari di internet, pertumbuhan ekonomi era SBY dan Jokowi.

Apakah Ibas tidak tahu hal yang sepele ini? Tahu pastinya. Jika tidak tahu ya keterlaluan. Sangat mungkin juga sih tidak paham esensinya. Apalagi ini masa-masa yang sangat berbeda. Pandemi bukan sebuah keadaan yang normal-normal saja. Amrik yang jawara saja bisa terkapar. Negeri Singa yang sudah sangat mapan saja bisa remuk.

Ia sangat paham, ini jelas memanfaatkan momentum untuk menghajar pemerintah. Ia lupa, ini lagi-lagi pengulangan istilah saya, politik memukuli beton. Apa daya tidak ada yang dibanggakan, akhirnya memukuli beton cor itu. Tindakan sia-sia, posisi  secara politis, ekonomi, dan sosial aman kog.

Ibas lebih baik banyak bicara, komentari apapun, kan orang jadi enggan akan membalas dan membahas. Mengapa? Ya tidak akan ada yang asyik kalau terus-terusan omong dibahas. Mengapa selama ini seolah apa yang Ibas katakan menjadi santapan empuk? Ya karena ia jarang omong. Lebih parah lagi salah.

Ketika apapun dikatakan, tanpa peduli reaksi orang, kan menjadi sebuah kebiasaan. Pengenalan politikus kan juga dari tanggapan atas pernyataannya. Diam itu emas belum tentu dan tidak pas bagi politikus.

Saatnya Ibas jadi diri sendiri. Sangat mungkin ia ketakutan salah karena didikan perfeksionis dari mendiang Ibu Ani sangat kuat dan membekas. Takut salah dan akhirnya salah juga. Lebih keren lagi jika Ibas berani melangkah keluar dari kepompongnya dengan mencoba peruntungan politis di pilkada. Tidak usah harus gede dan mentereng.

Pembuktian dari Pacitan, Purworeja, atau Manado, di mana Demokrat masih memiliki jejak lumayan. Bagus lagi jika di Solo, berhadapan dengan Gibran, lha apa daya Demokrat tidak memiliki kursi sama sekali.

Ibas itu sosok otonom, bukan bayang-bayang Yudoyono Senior, atau abangnya, atau mendiang Ibu Ani. Hal yang penting bagi perkembangan pribadi  atau politik Ibas sendiri. Selama ini hanya di bawah bayang-bayang SBY dan kini tambah AHY.

Tentu bukan dalam konteks berseteru, bersaing secara sehat dengan abang mengapa tidak. Belum tentu kualitas Ibas kalah dengan AHY. Selama ini kan terpaksa menjalankan peran semata. Padahal sangat mungkin ketika menjadi diri sendiri bisa sangat leluasa, kreatif, dan ada potensi lebih moncer dari Pak Beye sekalipun.

Tidak akan berani. Itu masalahnya. Merasa kurang ajar, dan sudah nyaman dengan pola peran yang diperoleh.  Sama dengan anak elang diperam dan dipelihara ayam. Potensi itu mengerdil dan bahkan hilang.

Masih demikian banyak pendidikan ala demikian. Anak potensial bisa hilang kemampuannya karena terpasung dan keputusan mutlak orang tua.

Ibas, ayo terus bicara dan kemukakan pendapat. Jangan takut salah, kesalahan adalah pelajaran berharga. Keliru memahami teks dan konteks sih tidak masalah, asal bukan salah dalam mengambil keputusan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun