Ketika apapun dikatakan, tanpa peduli reaksi orang, kan menjadi sebuah kebiasaan. Pengenalan politikus kan juga dari tanggapan atas pernyataannya. Diam itu emas belum tentu dan tidak pas bagi politikus.
Saatnya Ibas jadi diri sendiri. Sangat mungkin ia ketakutan salah karena didikan perfeksionis dari mendiang Ibu Ani sangat kuat dan membekas. Takut salah dan akhirnya salah juga. Lebih keren lagi jika Ibas berani melangkah keluar dari kepompongnya dengan mencoba peruntungan politis di pilkada. Tidak usah harus gede dan mentereng.
Pembuktian dari Pacitan, Purworeja, atau Manado, di mana Demokrat masih memiliki jejak lumayan. Bagus lagi jika di Solo, berhadapan dengan Gibran, lha apa daya Demokrat tidak memiliki kursi sama sekali.
Ibas itu sosok otonom, bukan bayang-bayang Yudoyono Senior, atau abangnya, atau mendiang Ibu Ani. Hal yang penting bagi perkembangan pribadi  atau politik Ibas sendiri. Selama ini hanya di bawah bayang-bayang SBY dan kini tambah AHY.
Tentu bukan dalam konteks berseteru, bersaing secara sehat dengan abang mengapa tidak. Belum tentu kualitas Ibas kalah dengan AHY. Selama ini kan terpaksa menjalankan peran semata. Padahal sangat mungkin ketika menjadi diri sendiri bisa sangat leluasa, kreatif, dan ada potensi lebih moncer dari Pak Beye sekalipun.
Tidak akan berani. Itu masalahnya. Merasa kurang ajar, dan sudah nyaman dengan pola peran yang diperoleh. Â Sama dengan anak elang diperam dan dipelihara ayam. Potensi itu mengerdil dan bahkan hilang.
Masih demikian banyak pendidikan ala demikian. Anak potensial bisa hilang kemampuannya karena terpasung dan keputusan mutlak orang tua.
Ibas, ayo terus bicara dan kemukakan pendapat. Jangan takut salah, kesalahan adalah pelajaran berharga. Keliru memahami teks dan konteks sih tidak masalah, asal bukan salah dalam mengambil keputusan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H