Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Membaca Buku dan Kondisi Normal Baru

7 Agustus 2020   11:23 Diperbarui: 7 Agustus 2020   11:20 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca Buku dan Kondisi New Normal

Apa hubungannya coba? He..he..ini bukan new normal ala pandemi, tapi kondisi normal baru secara personal. Beberapa waktu lalu, usai kunjungan teman, tiba-tiba pinggang  kiri serasa terbakar. Maaf mau berak seolah tidak keluar, namun kerasa mau buang air besar. Malah muntah tiga kali pula. saran untuk ke dokter tidak diterima, karena air seni bening, tidak pula pucat wajah, artinya tidak ada masalah yang serius.

Bingung dengan kondisi itu, ingatlah Kompasianer kawakan praktisi Shambala. Telpon dan dikirim energi. Ada yang bergerak dari pinggang kiri sampai ke arah bawah pusat dan menjadi lega. Lanjut dengan tidur. Bangun dengan keadaan pulih seperti sedia kala.

Suhu Rudy Sebastian,  Kner Planet Kentir mengatakan, ini sih masalah kurang gerak, kebanyakan duduk. Mengetik. Ternyata benar. Dua hari berturut teman datang dan duduk jagongan dari pukul 10 sampai 16 sore. Dua hari  terus, plus aktivitas mengetik selama ini. Akumulasi.

Nah, kegiatan selama ini kan hanya membaca dan menulis. Benar ada sepeda statis, toh duduk juga meskipun gerak. Semua harus berubah dan bebenah untuk bisa tetap melakukan aktivitas dengan relatif baik, sehat, dan semua berjalan dengan baik.

Smart Band, kesehatan.

Demi memacu mau gerak, belilah gelang pintar. Target sehati 8.000 langkah, atau sekitar tujuh kilometer. Selama lebih sebulan ini semua bisa tercapai, bahkan terlampaui dengan 10.000 langkah dan rata-rata harian 7.7 kilo meter. Durasi waktu yang diperlukan sekitar dua jam perhari.  Ini baru olah raga atau gerak dengan aneka bentuknya.

Aktivitas lain yang membuat pembagian waktu yang keteter adalah dua rekan kuliah yang memodali membuat blog dan  memainkan akun media sosial berbagi film. Dua aktivitas yang benar-benar menyita waktu karena perlu konsentrasi tinggi. Melibatkan rekan yang mau bersusah  payah, berbeda ketika bermain sendiri. Itu suka-suka sangat mungkin.

Ketika ada rekan Kner mengomentari sedang mencari tantangan baru, antara iya dan tidak. Ini sebuah eksplorasi baru di dalam  memainkan media. Bagaimana internet, smartphone itu menghasilkan bukan hanya mengeluarkan beaya untuk membeli quota.

Produktifitas di tengah pandemi harus kreatif. Youtube ada dua kerja, membuat narasi tulisan dan kemudian merekam. Ada teman lain yang mengolah teknisnya. Sama juga dengan blog. Toh ini waktu dan konsentrasi  baru yang harus sinergi.

Membaca menjadi seolah terbengkalai. Selama ini sudah ada dua atau tiga buku yang terbeli, baru sempat membuka bagian awal. Belum ada waktu atau kesempatan untuk bisa menikmatinya.  Hanya satu yang hampir rutin, buku renungan harian, pemberina rekan Kompasianer Joko Cacuk. Mau tidak mau ini dibaca, toh masih kredit dengan mengambil hanya pada bacaan Injil dan renungan saja. Lainnya ditinggalkan.

Kondisi normal baru benar-benar belum sepenuhnya bisa teratasi. Membeli buku dan membaca sih bukan barang baru. Hanya soal membaca dengan rutin kembali. Semua buku yang ada, sih sekitar 80% sudah dibaca, bahkan ada beberapa yang sudah melakukan pengulangan dua hingga tiga kali.

Buku-buku Antony de Mello dan Mira W hampir pasti sudah pengulangan.  Sambil belajar dan menggali makna baru.  Menulis tanpa membaca ya sama juga dengan mau makan tanpa mau kerja.

Kering dan tidak berkembang, pengulangan lagu lama dan tidak ada apa yang baru sebagai tawaran kepada pihak lain sebagai pembaca. Memang perlu kerja keras dan beaya tentunya. Waktu untuk membaca, beaya membeli buku, mau cetak, atau PDF toh perlu paket data ketika mendapatkannya.

Hal yang wajar juga sih, ketika bergelut dengan dunia tulis, namun enggan melengkapi diri dengan bacaan ya lucu. Salah satu kebiasaan dulu ketika mendapatkan gaji rutin, usai bayaran ke toko buku, berburu buku diskonan. Mayan, dan syukur bahwa ada rekan yang ketularan. Sudah berpisah masih memberi tahu bahwa budaya itu ia ikuti.

Budaya baca perlu dipaksakan, tanpa paksaan sejak dini susah mengharapkan orang bisa suka membaca. Selain paksaan, di seminari ada waktu membaca secara khusus, jadi mau tidak mau akan membaca dan itu pembiasaaan baik yang berdampak besar.

Keteladanan. Di lingkungan orang suka membaca, suka atau tidak, akan menular. Orang sangat mungkin tertular dan ikut suka membaca. Memang tidak selalu.  Sama dengan rekan yang ketularan membeli dan berburu diskonan, rekan lain pusing tidak masuk toko buku. Ini serius.

Pekerjaan juga ikut mempengaruhi. Guru, peneliti, penulis, dan sejenisnya tentu perlu bacaan sebagai bagian pengayaan untuk bahan ajar, bahan penelitian, dan untuk tulisan.  Pasti awalnya akan memaksa diri untuk membaca.

Perlu pemaksaan dan tegas diri untuk mau meluangkan waktu membaca. Orang pada dasarnya lebih suka yang visual, menonton, berbeda dengan membaca. A tau audio, mendengar. Nah  ketika dua godaan itu datang, aktivitas membaca bisa  terpinggirkan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun