12 Alasan Deny Indrayana Cagub Usungan Gerindra, Politik Balas Budi
Pagi-pagi membuka media sosial, malah mendapatkan bahasan Gerindra akan mengusung Deby Indrayana sebagai calon gubernur Kalimantan Selatan. Tidak ada yang salah, sepanjang UU dan aturan lain tidak ada yang dilanggar yo baik-baik saja. Soal patut dan tidak, itu perihal lain. Perlu dilihat lebih lagi adalah sebagai berikut;
Pertama, penyakit partai politik, tidak peduli kader, prestasi, atau apapun selain soal keterpilihan. Namanya main politik ya memang keterpilihan sebagai hal yang nomer satu. Toh, membangun citra diri dan partai yang bekerja keras, dan mulai dari bawah juga tidak kalah penting. Deny Indrayana jelas bukan kader Gerindra, politikus Demokrat, yang kerap berseberangan.
Kedua, berkaitan dengan elektabilitas masih sebatas kemenangan sebagai tujuan. Proses berpolitik belum banyak yang mampu menghayati sebagai bagian dari demokrasi. Melihat alam demokrasi semata mendapatkan kemenangan dan satu-satunya jalan mendapatkan kursi, bukan proses memperoleh mandat dari rakyat yang berdemokrasi.
Ketiga, potong kompas khas demokrasi ala-ala Indonesia. Pokok tenar, mampu finansial, dan potensial, mau kambing congek, mau sapi dibedakin, tetap saja diangkat jadi calon ini dan itu. Mirisnya lagi adalah, Â sekalipun itu narapidana, sekalipun itu tahanan, mereka tetap bersikukuh menjadikannya calon. UU memang tidak melarang, namun ini soal kepantasan.
Keempat, Deny Indrayana, ini orang kesekian yang bukan promosi namun degradasi. Mantan anggota kabinet berakhir atau dipecat dan mengadu keberuntungan menjadi gubernur, walikota atau bupati. Lagi-lagi tidak salah, tetapi apa ya patut sebenarnya. Jika berbicara pengabdian dan juga jenjang karir.
Kelima, cukup wajar jika mengatakan orang dan partai politik semata mengejar kursi pemerintahan. Apapun kelasnya pokok eksekutif. Lihat saja DPR RI mau dan rela melepaskan demi bupati-wali kota, apalagi kalau itu adalah menteri. Padahal secara hukum tata negara kedudukan DPR RI jelas lebih tinggi, benar bukan dalam artian birokrasi lurus. Kekuasaan lebih besar dan luas, toh masih lebih suka bupati-walikota. Mengapa?
Keenam. Jangan bicara pengabdian ketika berkaitan dengan point lima. Itu semua berujung pada kekuasaan dan uang. Mana ada kekuasaan besar menjadi anggota dewan, kalah sama fraksi dan pastinya partai politik. Tidak ada ruang gerak yang leluasa. Nah berkaitan dengan ini adalah ponit berikut.
Ketujuh, feodalisme masih demikian kuat. Penghormatan dan penghargaan orang masih menjadi sebuah kebanggaan. Bpati-walikota jelas menguasai satu kawasan. Semua orang akan mengenal dan sangat mungkin memujanya. Berbeda dengan anggota DPR RI misalnya. Meskipun memiliki cakupan lebih gede, toh belum tentu dikenal dan bisa memerintah,
Kedelapan, partai politik enggan kerja keras. Membangun citra partai dan kader berprestasi dan mempunyai rekam jejak banyak. Susah amat, yang gampang saja ada. Pola birokrasi yang gampang dipersulit, yang susah ditinggalkan. Ini salah satu penyakit dan tabiat yang sangat merugikan. Sayang malah menjadi sebuah gaya berpolitik yang begitu dominan.
Kesembilan. Ingatan massa yang masih dangkal dan pendek. Semata pemilihan saja ingatan. Jadi partai enggan kerja keras karena toh nantinya rakyat tidak akan ingat apa yang sudah susah payah dilakukan. Rekam jejak prestasi itu tidak lagi menjadi penting. Lihat dengan capaian Ahok atau  politisi lain yang berkinerja bagus. Rontok seketika dengan permainan kotor kecil sesaat.
Kesepuluh. Latar belakang Deny Indrayana jauh dari birokrasi. Seorang akademisi dan aktivis. Jauh lebih penting ilmunya untuk pendidikan generasi muda masa depan bangsa sejatinya. Gubernur belum tentu bisa ia emban dengan sangat baik.
Kesebelas. Benar ia putera daerah, apakah ia kenal dengan baik daerahnya? Atau malah jangan-jangan hanya numpang lahir? Melihat  data pribadinya sebagaimana kata Wikipedia, lebih banyak usianya di luar Kalimantan Selatan. Pekerjaan dosen di Jogyakarta, jelas studi di sini selain di luar negeri. Pemahaman soal Kalimantan Selatan apa memadai.
Keduabelas. Tokoh Gerindra mengatakan Kalimantan Selatan perlu pemimpin baru apalagi di tengah pandemi seperti ini. Sangat mendasar dan krusial. Kalimantan Selatann termasuk sangat tinggi. Apalagi mau membandingkan dengan jumlah penderita dan penduduk. Sangat mungkin nomor satu di Indonesia. Lagi-lagi, apakah kapasitas Deny mampu menjawab tantangan ini?
Berkaitan dengan ulasan di atas, cenderung Deny diajukan sebagai calon karena balas jasa Gerindra dan Prabowo yang sudah  mati-matian dibela di meja peradilan ketika mengajukan sengketa pilpres. Mau ngaco atau tidak, toh anggapan kubu mereka ini sebuah prestasi. Susah melihat Deny memiliki cukup kapasitas sebagai pimpinan daerah. Ingat bukan soal kemampuan sebagai aakademisi dan aktivis. Beda ulasan.
Miris sebenarnya, ketika orang sudah profesional di bidangnya, digoda masuk politik dan kalau berhasi sih bagus. Kalau gagal? Wong daerah kog dipimpin dengan coba-coba. Apa kalau tenar mesti pintar dan mampu memimpin?
Paradigma partai politik potong kompas dan instan masih terlalu kuat. Enggan dan abai proses berpolitik. Pokok menang dan kadang juga menggunakan segala cara asal dapat kursi dan menang. Kapan memberikan pembelajaran politik?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H