"Bangsat....cepat matikan....cepat....munafikkkkkk."
Aku terbangun, kaget, lamat-lamat aku masih belum jelas...
"Matikan itu bangsatttt...cepat...."
Ternyata suamiku....papanya anak-anak mengigau lagi...
"Pa..bangun....bangun..."
Pelan-pelan aku tepuk pipi dan lengannya...
Sambil mengimpun nyawa dan ingatan, aku juga berjuang mengatasi kegagetan dan kantuk. Kejadian ini untuk kesikian kalinya. Paling tidak dalam seminggu sudah tiga kali. Hal yang sama. Memaki untuk mematikan. Entah apa yang harus dimatikan.
Seperti yang sudah-sudah, ketika terbangun ia minum dan pura-pura tidur. Tidak sepatah kata pun menjawab tanyaku.
Paginya ketika didesak paling mengatakan ah lupa, mimpi buruk, biasa kecapekan.
Kali ini terulang lagi, sudah hampir sebulan, setiap pekannya bisa dua hingga tiga kali. Mulai berdampak pada wajah dan semangatnya yang jauh menurun. Wajahnya kusam, kucel, dan terlihat dia kurang tidur.
Mas Boy memang tidak pemarah dan emosional. Sikapnya pada kami tetap sama, tidak berubah menjadi pemarah. Lebih murung iya, beberapa kali aku pergoki sedang melamun, kadang matanya memerah, namun selalu mengatakan hanya kecapekan semata. Kerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya.
Sempat terdengar sih ia becanda dengan Mas Hen, kakak kelas di seminari. Mereka berbincang mengenai skandal pastor yang sedang menghangat. Aku pikir hal yang biasa. Mereka mengobrol baik via telpon ataupun ketemuan bahasan yang sama. Sama sekali tidak menjadi perhatian.
Ada momen di mana aku terkejut, ketika sekilas wajahnya sangat marah, namun dengan cepat, kembali datar, tetapi mata dan sorot tatapannya masih marah. Jelas tidak marah ke aku atau anak-anak. Tidak pernah dia memperlihatkan sorot mata seperti itu.
Kemarahan, sedih, dan ketidakberdayaan yang menyatu.
Aku jadi ingat.
Selalu usai memperlihatkan tatapan begitu malamnya pasti mengigau. Igauan yang sama. Bangsat, munafik, matikan.
Tanda samar ini lama-lama aku perhatikan dan cermati, mengapa Mas Boy menjadi seperti itu. Aku juga  sempat tanya ke Mas Ben, siapa tahu dia lebih terbuka pada kakakkelasnya itu. Istri eksim paham kog, mereka menjadi orang kesekian soal relasi. Teman angkatan dan teman eksim lebih dekat dalam arti-arti tertentu.
Ada temannya Mas Boy yang mengatakan, jangan cemburu kalau  ada pertemuan, kopdar sampai menginap sekalipun, jika itu berkaitan dengan rekan seminari. Pendekatan yang sama sangat mungkin juga menjadi prinsip suamiku.
Makin ke sini keadaan tidak membaik, igauan yang sama malah makin sering. Ajakan periksa ditolak mentah-mentah. Halus sih, tapi sangat tegas dan getas. Ada nada getir di sana.
Mukjizat itu akhirnya datang, aku membuka kiriman teman, ada video asyik, dari Pastor Tony, kata Mas Boy ini adalah pamongnya. Dia tidak pernah cerita sih, hanya kata teman-temannya kalau datang atau kumpul.
Video singkat, inspiratif, dan bagus, dikirim kawanku yang bukan Katolik. ia mengapresiasi pendekatan Pastor Tony yang sangat merakyat dan sederhana. Pas aku putar, volume itu aku besarkan, biar semua mendengar. Reaksi kemarahan yang sama dipertunjukan dengan sangat jelas. Kali ini  Mas Boy tidak menyembunyikannya dengan waktu cukup lama untuk aku bisa membacanya dengan sangat jelas. Bibirnya mau terucap namun tidak keluar.
Ketika dini hari ia mengigau aku sudah siap, aku hanya tidur-tidur ayam, karena kepikiran ada apa, dan juga harap-harap cemas jika akan ada igauan di malam ini. Benar adanya.
Usai minum teh hangat, aku ajak bicara, ada apa sebenarnya dengan umpatan dan makian itu. awalnya Mas Boy mau mengelak dan tetap menyembunyikan fakta itu.
"Ini pasti berkaitan dengan Pastor Tony, aku perhatikan Mas memperlihatkan kemarahan yang tertahan. Makin yakin tadi, Mas mau marah, bahkan bibir Mas sudah bergerak mau mengatakan bangsat, matikan, tapi tidak jadi kan...."
"Enggak, ah ngaco, sudah ayo tidur...besok kerja, biar seger...." sambil menutup mukanya.
"Mas aku tahu, paham, kalian eksem selalu merasa hebat, paling benar, dan merasa mampu sendiri. Jangan lupa, Mas sudah memutuskan menikah, artinya ada ranah yang mas tidak mau ungkap, tapi aku sebagai istri dianugerahi Tuhan dengan karunia intuisi yang kuat. Jika memang Mas belum mau, aku ulang, belum mau atau masih gengsi, ya tidak apa-apa. Ingat, aku istri Mas yang merasakan itu juga, tetap sedia mendengarkan apa yang terburuk sekalipun," kataku panjang lebar untuk menegaskan aku peduli juga aku tahu yang baginya ia anggap tidak tahu apa-apa.
Keadaan tidak berubah. Aku tidak berani bereksperimen dengan sengaja memperdengarkan video Pastor Tony. Aku yakin ini berkaitan, hanya saja aku tidak sampai hati melukainya lebih dalam lagi. Ia adalah suamiku dan ayah dari anak-anakku.
Lagi-lagi mukjizat yang hadir. Pas suamiku masih di kantor. Mas Ben sobatnya datang mengambil barang yang ia beli berdua dengan Mas Boy. Nah ini kesempatan, entah suamiku sengaja, atau malah benar kehendak Allah untuk menyingkap tabir ini semua.
Aku katakan keadaan suamiku pada Mas Ben. Kami memiliki rencana minggu depan, kala ada tanggal merah Jumatnya mau mengadakan piknik. Jelas yang akan mengajak Mas Ben bukan aku. Jangan harap bisa mengajaknya nginap  di luar, kecuali teman seminarinya yang mengajak. Aku sih tidak lagi menganggap itu sebagai sebuah masalah.
Rancangan matang, kami akan menginap, anak-anak juga ikut, dan di sana sengaja mau memperdengarkan video Pastor Tony. Mas Ben ternyata sudah merasakan ada sesuatu di suamiku. Ada masalah yang sangat pelik namun disimpan sendiri. Mendengarkan tanda-tanda yang aku katakan itu, ia mengeryitkan dahi dan menyetujui ideku untuk dilakukan.
Konsep itu benar. Di sanalah, akhirnya Mas Boy terbuka semua. Mengapa dan ada apa dengan perilaku dan igauannya selama ini.
Ia tidak tega padaku dan anak-anak yang selalu mengidolakan Pastor Tony dan bagaimana mereka bangga mendengarkan atau bahkan membagikan video yang memang obyektif bagus. Tapi...
Apakah mereka merasakan, ketika wajah itu nonggol di layar, seolah perlakuannya bertahun lalu itu melela lagi...
Rasa yang sama..
Tidak berdaya, ditambah istri dan anak-anak yang bangga...
Itu pembina Papa, ia itu pembimbing suamiku lho....
Binar kebanggaan itu apa mungkin mau mendengar kata-kata bangsat, matikan, munafik, muak???
Bagaimana kalian tahu, apa yang kami alami. Sekian tahun hanya diam di antara puja dan puji kalian-kalian pada si manusia bangsat munafik itu.....
Aku salut pada Mas Ben yang tetap tenang...Mas Boy marah besar, belum pernah aku lihat ia semarah itu. Untung anak-anak sudah tidur, antara capek dan juga senang.
Ketika Mas Boy sudah reda dan tenang, aku meminta maaf, dengan tulus aku merasakan apa yang ia rasakan. Antara tidak berdaya, di sisi lain ada pemuja yang tidak tahu perilaku lain di balik kerennya pernyataan dan sikapnya itu.
Mas Ben hanya diam, ia jelas tidak merasakan atau menjadi korban, sebagaimana ia katakan kemarin, tidak ada masalah dengan siapapun di seminari.
Berdasar kisah nyata. Baru saja mendengar, dan sangat tidak percaya membaca di layar smartphone si idola itu ternyata.....
Idola itu hanya pada Tuhan Yang Sempurna, semua manusia terbatas. Mengidolan orang hanya kecewa yang ada.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H