6.
Masa Lalu 2
Malam ini, usai aktivitas seharian yang cukup menguras tenaga, aku mau istirahat, tidak belajar atau mengerjakan tugas. Aku lihat jadwalku, tidak ada yang mendesak, aku mau berlama-lama dengan buku harian. Â Tiba-tiba ada panggilan dari rekanku kalau ada telpon. Aku menuju ke lobi di mana terletak telpon,
"Selamat malam, " aku tidak diberitahu dari siapa.
" Malam Gus, apa khabar?" itu ibu yang selalu menyebutku Gus kalau lama tidak bertukar khabar, seperti ungkapan kekangenan yang mendalam.
"Malam Ibu, maaf lama gak telpon, sangat sibuk, banyak kegiatan, Bapak dan Ibu sehat? " tanyaku dengan sesal. Kalau begini siap-siap setengah jam tidak akan berhenti.
Tepat perkiraanku, ibu telpon 25 menit, mengabarkan apapun, siapa  meninggal, ada temanku yang datang mencari, atau kapan pulang, dan tentu soal belajar dan karya. Bapak kebagian lima menit  karena tidak akan banyak bincang, paling megatakan kami baik, belajar yang tekun, setia, dan jangan lupa istirahat, jelas selamat berkarya dan jaga kesehatan sudah.
Masuk kamar kembali, aku tidak jadi bergulat dengan buku harian, aku duduk di kursi belajarku dan mengenang bagaimana mereka berdua yang mulai memasuki usia senja. Anak tunggalnya ia serahkan kembali kepada Tuhan. Apa yang aku lihat, di mata dan wajah mereka tidak ada gurat kekecewaan, kesepian, dan nelangsa di masa tua hanya berdua.
Kami bangga, namun tidak memaksa kamu untuk menjadi imam, hanya Gusti yang bisa menjadikan kamu apa, Gab. Bapak dan ibu hanya mampu mendoakan dan mendukung apapun yang kamu pilih. Pulang bukan berarti gagal, tetapi bahwa kehendak Tuhan berbeda atas dirimu. Pulang ke sini, tapi itu bukan keputusanmu, ketetapan Tuhan saja. Tidak ada dalam benak kami, kamu gagal atau malu, jika itu terjadi. Tidak banyak orang yang menjawab panggilan-Nya, kamu mencoba menjawab dan jalani dengan apa adanya.
Nasihat yang beliau sampaikan dalam keadaan tidak serius, sambil ngopi dan baca koran. Tetapi aku camkan baik-baik, aku ingat, aku bebas tidak ada beban jika memang ini bukan jalanku. Ada teman setiap menjelang seleksi akhir tahun takut luar biasa, karena kalau pulang akan menjadi anak setara dengan anak durhaka. Kasihan teman ini, selalu ke kamar dan mengeluhkan yang itu-itu saja.
"Bol," panggilan khas kami, masing-masing punya nama kesayangan, "Enak ya kamu, mau pulang kapanpun bisa, tidak dicap sebagai anak gagal, keluarga mu keren, modern, padahal sudah jauh lebih tua dari bapakku, eh malah kalah gaul." itu refren yang ia ulang kalau menjelang seleksi.
Kasihan sebenarnya, bagaimana tidak, ini bukan sekolah yang hanya mengandalkan kemauan semata, namun juga rencana Ilahi ada di sana. Bagaimana jika Tuhan menghendaki aku misalnya harus di luar untuk tugas yang aku belum mengerti. Pengalaman membuktikan sebenarnya Tuhan memiliki rencana yang lebih baik dan pas bagi banyak ex-sem yang tidak kalah martabatnya. Soal sosiologis yang menilai kalau imam itu status sosialnya berbeda membuat orang tua membebani para seminaris dan frater merasa bersalah jika keluar.
Syukurku pada Tuhan atas bapak yang sederhana sebagai guru, tidak aneh-aneh di dalam pemikiran dan menjalani hidup ini. Menerima bagian apa yang Tuhan kehendaki dengan sikap terbuka. Itu aku kira yang membuat beliau bisa tetap sehat meski di usia yang tidak muda, merokok, ngopi juga.
Penerimaan sikap atas iman demikian yang membuatku mampu berjalan sekian lama dengan jatuh bangun yang tidak menjadi hambatan berarti. Air mengalir yang menyenangkan bukan semata seenaknya sendiri menyerahkan pada pihak lain untuk memegang kendali, hanya DIA yang menjadi pengendali kita. Kita berusaha dengan upaya dan doa, ada Tuhan yang akan memberikan yang terbaik.
Tuhan tidak akan pernah salah. Upaya kita memaksakan keinginan, kehendak, dan rencana kita yang membuat capek, lelah, berat di dalam menjalani. Ikhlas memang tidak mudah, bukan berarti tidak bisa. Ranah masing-masing dijalani itu menyenangkan.
Bapak dan ibu cukup lama menantikan aku lahir. Mereka menceritakan dengan gemas padaku saat kecil, namun mereka tidak pernah memaksakan diri dengan jalan yang tidak patut. Mereka ke Gua Maria, bukan meminta mukjizat, namun memohon kekuatan tetap berharap dan jika Tuhan berkenan, bukan memaksa Tuhan. Lihat betapa imannya yang sederhana itu membuatku makin kuat hingga kini. Iman yang tidak neko-neko, aneh-aneh, demi popularitas, atau demi harga diri yang tidak penting itu. Memuliakan Allah dengan caranya yang sederhana.
Saat teman-temannya mengambil kredit motor dengan potong gaji, bapak tidak tergiur, biar saja aku naik sepeda, waktu itu tentu, dan uangnya biar dipakai ponakan yang mau sekolah. Keponakan yang di sekolahkan kini datangpun tidak, pernah mengeluh?Â
Tidak. Beliau berprinsip, kebaikan itu seperti orang buang air besar, usai dilakukan lega dan tidak perlu diharapkan kembalinya, jika tidak dilakukan buat perut sakit, melilit, dan tidak nyaman. Kebaikan buat dilakukan bukan untuk diingat. Selalu berulang, apa yang diberikan tangan kananmu, jangan sampai tangan kirimu tahu, itu diulang-ulang kalau berbuat kebaikan.
Ajaran-ajaran sederhana itu yang mengiringi hidupku. Rekan-rekan banyak uang jajan, bagi ibu, jajanan ada di rumah. Makan pagi itu wajib biar tidak kepikiran jajan terus pas pelajaran. Kebiasaan sepele bagi keluarga lain, beda dengan ibu yang mau bangun pagi-pagi demi anaknya.
Sesaat mau masuk seminari bapak bertanya nilai ujian SD ku berapa?
"40" jawabku singkat dan bingung....
"Misalkan bapak minta teman-teman menaikan jadi 43 gak ada yang curiga kan...."
"Mengapa tidak dilakukan?"
"Kamu bisa sekolah tidak dengan nilai aslimu?"
Sesederhana itu pelalajaran hidupnya. Mengalah untuk menang, mengalah bukan berarti kalah. Ajaran-ajaran Kitab Suci yang  beliau terjemahkan dalam hidupnya sendiri. Itu yang menghidupi beliau hingga usia senjanya kini.
Profesi guru kala itu, berat. Namun tidak pernah mengeluh, apalagi soal gaji. Saat usia 56 beliau memilih pensiun di mana usia minimal sudah dicapai. Orang bertanya mengapa masih empat tahun sudah pensiun? Biar yang muda-muda bisa juga menjadi kepala sekolah. Dulu kepala sekolah negeri itu sampai pensiun. Memberikan peluang untuk yunior naik posisi.
Kenangan rumah yang asri, hijau, tepi sawah yang indah sepanjang waktu itu, eh malah mengingatkanku pada Angela. Gadis yang memintaku menjadi apapun, selain pasangan hidupnya. Minta dipeluk, dicium, dan menyembunyikan segala kebaikan hatinya hanya untukku. Mengapa dia hilang begitu saja usai ujian itu. Ijazahnya pun dikirim bukan ia ambil. Sekolah membuat banyak kebijakan demi murid luar biasanya itu. Apakah ia membawa lara hatinya ke London saja, aku juga tidak pasti ke mana dan kenapa dia begitu.
Ke mana ia pergi, papa mama tutup mulut seribu bahasa.
"Gabie, tidak perlu resah soal ke mana Angel pergi ya, fokus studi dan panggilanmu saja. Percaya kan dengan Papa Mama?" katanya dengan berkaca-kaca, tentu ini berat bagi Mama harus ditinggalkan puteri semata wayangnya. Aku jadi ragu kuliah ke luar negeri itu atas permintaan Mama, jangan-jangan ini keinginan Angie karena keputusanku?
Lonceng pos ronda kampung bertalu satu kali, ha... pukul satu dini hari berarti. Aku kaget sendiri.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H