Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Putih Cintamu Seputih Jubahku

24 Juli 2020   10:33 Diperbarui: 24 Juli 2020   10:44 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua minggu kemudian hasil test ku dinyatakan lolos diminta test kesehatan di rumah sakit yang ditunjuk. Hasilnya pun baik. Surat pengumuman lewat paroki baik pula dan aku diminta datang dengan beberapa syarat. Baju maksimal delapan potong, pakaian rumah dan celana pendek dengan jumlah yang sama, kaos dalam dan celana dalam dengan seragam berupa baju putih dan celana hitam dua di antara delapan itu. Ketat memang dengan uang saku yang dibatasi agar tidak menjadi pribadi pengabdi uang dan materi. Mendidik pribadi yang bergantung Allah sepenuhnya. Kesederhanan agar tidak berjarak dengan umat yang dilayaninya.

Pendidikan setahun itu tidak terasa hampir selesai. Akhir tahun kami diharuskan untuk memilih mau menjadi imam yang bagaimana, apakah religius yaitu biarawan yang berkaul, atau rohaniwan atau biasa dikenal praja. Jika praja kami mau ke mana boleh memilih, jika biarawan, biarawan yang menganut spritualitas macam apa. Sepanjang tahun  kami memang dikenalkan dengan corak hidup membiara atau lembaga hidup bakti.

Aku memilih ke mana, dengan dasar  memang merasa diriku bisa berkembang dan mengabdi kepada Tuhan melalui sesama dengan jalan itu. Biarawan yang memiliki  karya misi sebagaimana aku idamkan. Bisa mengenalkan dan mengajarkan iman akan Kristus di mana belum ada. Hal ini terinspirasi dari novel dan film Silence. Dikisahkan dalam film itu betapa berat misionaris muda yang mencari sang guru, magister[5] mereka di novisiat[6] yang dikabarkan sudah berpindah keyakinan dan imannya karena tidak tahan akan siksaan di tanah misi, Jepang. 

Novelnya sudah aku lalap habis dengan penuh antusias dan ngeri membayangkan bagaimana pelarian, ketakutan, dan merananya mereka. Hidup di dalam gua-gua tanpa makanan yang cukup, pakaian yang sangat terbatas, dan was-was sepanjang waktu. Gambaran siksaan dan kecurigaan akan penghianatan memenuhi imajinasi saat membacanya.

Kematian yang sangat pelan dan berat karena mempertahankan iman, harus memilih menginjak gambar suci, fume[7],  atau mendapatkan siksaan yang tidak bisa digambarkan. Harga imam, guru agama, dan orang beragama Kristen masing-masing berbeda yang sangat menarik bagi penduduk miskin masa itu di Jepang. 

Sang guru yang dicarinya ternyata menjadi tenaga ahli kekaisaran untuk menerjemahkan buku-buku barat. Motivasinya entah demi apa, bukan menjadi fokus kisah ini. Luar biasa.

Film yang ditayangkan untuk kami diskusikan ternyata lebih mengerikan daripada yang aku bayangkan sebagaimana imajinasi membaca. Kesadisan dan kekejaman yang digambarkan sangat mendetail dan sangat keji.

Tanah misi yang beragam, satu yang pasti, sulit. Sulit dalam aneka bentuk, bisa sulit alamnya, budayanya, atau sosiologisnya. Beberapa tempat tidak mudah dijangkau dengan alat transportasi modern. Kondisinya masih belum semaju kita ini. Di tempat-tempat ini  hatiku tergerak, terpanggil, dan merasa akan berguna, bukan hanya aku, banyak rekan-rekanku juga tertarik dan merasa Tuhan mengajak kami ke sana. Membantu mereka untuk menjadi lebih baik, bukan semata soal iman, namun kemanusiaan mereka.

 Terima kasih dan salam

 

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun