Akankah Politikus ini Marah Gegara M. Nasir?
Beberapa hari lalu, media dan juga media sosial hampir seragam memberitakan dan menceritakan Jokowi marah. Tanpa membahas isi atau mengapa marah. Ada pula yang malah mengulik marah kog memakai teks. Bebas saja namanya juga demokrasi.Â
Lucu? Iya sih. Eh kemarin ada kemarahan lain yang dilakukan anggota dewan kepada petinggi BUMN, namun malah bukan marahnya yang menjadi sorotan tajam, media campur aduk menyampaikan hal ini.
Mengapa tidak seseragam pemberitaan Jokowi? Karena bukan semata marah yang ada, namun di balik itu banyak maaf ketololan diperlihatkan. Langsung warganet mengulik dan membahas.Â
Ada kebodohan soal skema hutang. Ada pula yang membahas kekerabatan dengan Nazarudin selaku kakak adik yang  mendekam di penjara karena kasus korupsi. Kelanjutan dengan permintaan CSR, dan banyak lagi ulasan yang mengikuti.
Kemarahan yang tidak berarti selain malah mempermalukan diri dan kemudian partai sejatinya. Hal yang tidak elok namun seolah prestasi. Miris sebenarnya. BUMN ini adalah mitra, bukan bawahan dari dewan. Malah itu "atasan" dalam arti khusus. Lihat saja anggota dewan, ketika ditawari menjadi komut apalagi dirut BUMN, sekelas ecek-ecekpun akan cabut dari Senayan kog.
Ketika Jokowi mengatakan dengan nada tinggi, keras, dan tegas langsung ramai-ramai framing Jokowi marah. Olok-olok kemudian mengikuti. Lha apa salahnya seorang atasan menyemrot anak buahnya yang tidak becus bekerja. Ingat menteri itu bawahan dan pembantu presiden. Sama sekali tidak ada yang salah dengan sikap Jokowi. Mengapa pemberitaan lebay begitu?
Kemarahan M. Nasir ini malah jauh lebih memalukan. Sekali lagi BUMN ini mitra bukan bawahan. Berani-beraninya mengusir segala. Etika yang dilanggar, tidak melanggar hukum. Namun kepantasan. Meminta menghormati, namun dianya tidak mau respeks pada pihak lain. mengaku yang mulia, namun perilaku bar-bar pada ranah yang sepele. Berbeda jika debat dan kelahi itu hal yang esensial, demi hajat hidup orang banyak.
Mengenai kebocoran anggaran sama sekali tidak pernah terdengar marah, gebrak meja, dan usir mengusir. Aneh dan lucu. Candi tahun 2000-an mangkrak mengalahkan era Syailendra saja diam semua, manis, manggut-manggut, ada apa?
Menanti AHY Bersikap
Ini ujian pertama yang cukup krusial bagi AHY. Jangan berani mengritik ugal-ugalan pada Jokowi, namun anak buah sendiri diabaikan. Mengapa pada Jokowi berani, karena tahu Jokowi tidak akan merespons itu sebagai sebuah hal yang penting. Anaknya pun sudah dilibatkan. Apakah akan diam saja ketika anak buahnya melempar kotoran seperti ini?
Jangan mengatakan itu sesuai tupoksi. Benar di lembaga dewan itu mandiri, otonom, dan imun, tetapi ketika itu melanggar kepantasan. Semua jelas gugur, apalagi malah salah pula. Sikap AHY Â sangat penting karena menjual citra diri sebagai pemimpin muda. Salah bersikap, apalagi hanya diam saja, ya sudah salah perpisahan untuk 2024. Tidak ada lagi nama besar Demokrat.
Apa yang ditampilkan M. Nasir itu memalukan, bukan malah membanggakan. Jangan sampai kembali terulang perilaku ngawur Demokrat yang tidak berujung pangkal yang membuat lubang makam sendiri. Ini bukan hanya sekali dua kali malah berkali ulang.
Mendiamkan bisa diartikan setuju dengan perilaku demikian. Miris jika publik melihat Demokrat sekarang menjadi partai ugal-ugalan, kan dulu katanya santun. Mana ada santun memarahi mitra kerja dengan menggebrak meja sekalian.
Atau malah membenarkan rumor, lha memang cenderung benar, kalau belum ada deal-deal khusus sebelum pertemuan sehingga kondisi menjadi panas. Ini tentu bukan hanya masalah Demokrat, namun semua parpol dan ujungnya adalah negara.
Apa yang terjadi itu memperlihatkan kualitas anggota dewan yang hanya asal-asalan. Subsidi paling gede itu bukan untuk  rakyat, namun untuk anggota dewan. Bayangkan saja lima staff itu yang bayar negara lho. Berani duit hanya untuk satu anggota dewan. Padahal maaf demi mengganjal kebodohan dewan negara harus menggaji lima orang. Kasihan staff ini yang pasti lebih pinter dan jago harus mengajari anggota dewan yang maaf bloon. Susah lho orang kurang tapi kuasa diajari.
Sikap diam-diam memberikan teguran juga tidak elok, memperlihatkan sikap AHY peragu, penakut, dan tidak berani bersikap bisa menjadi bumerang. Sikap tegas, keras, dan lugas itu penting, sehingga orang bisa melihat AHY sebagai seorang pemimpin yang jelas. Jangan sampai persepsi selama ini menadapatkan afirmasi kalau benar, AHY bayang-bayang saja.
Satu hal lagi, jangan sampai SBY yang bersuara. Jika demikian, hanya makin membuktikan kalau AHY tidak bisa bekerja. Hanya semata boneka dan nama di dalam kertas. Ini bukan kampanye yang baik. Malah makin buruk bagi citra pribadi dan juga partai.
AHY tidak perlu marah, namun bersikap dengan proporsional, teguran keras, dan pernyataan yang tegas, bahwa itu bukan pendapat partai namun hak anggota dewan. Yang berlebihan sudah diberikan teguran dan menjadi perhatian ke depan.
Kalau sampai memilih mendukung M Nasir dengan dalih itu hak otonom dewan, ya sudah selesai Demokrat. Hanya sempat dua kali berjaya dan kemudian terlupa. Menanti sikap AHY, paling mungkin adalah diam saja. Mengandalkan politik lupa.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H