Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mulut dan Perilaku Jangan Jadi Teror bagi Anak dan Sesama

1 Juli 2020   20:40 Diperbarui: 1 Juli 2020   21:34 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulut dan Perilaku Jangan Jadi Teror bagi Anak atau Sesama

Beberapa hari ini, rekan-rekan Kompasianer dalam status media sosial membahas bagaimana mulut dan perilaku orang atau kadang keluarga, orang tua itu bisa sangat melukai, membuat depresi, dan menyudutkan bak teroris saja. Biasanya soal relasi dan keinginan orang tua atau pihak lain.

Kisaran kisahnya adalah, ketika sudah dinilai cukup atau layak memiliki pasangan untuk segera mempunyai. Perbandingan dengan anak teman atau tetangga biasa menjadi pembenar untuk menjadi alasan bertanya atau memaksa.

Lanjutan ketika sudah mendapatkan pasangan, celaan jika tidak sesuai itu juga masalah baru. Belum lagi malah tuntutan baru untuk segera menikah atau tahap selanjutnya. Syukur saya gak ngalami hal demikian baik keluarga apalagi orang lain, takut mungkin, hiikk hiik, tentu bukan menertawakan yang mengalami.

Kisah lain lagi, ketika anknya dipaksa menikah demi memenuhi kata orang tua, orang tua demi kata tetangga. Eh malah akhirnya bubaran, ketika relasi buruk dipaksa baik juga demi kata orang pula. Ini masalah yang tidak ada ujung pangkal, seperti lingkaran setan, di mana tabat hidup bersama kita, standart moral dan hidup bareng itu bukan yang hakiki, namun bagaimana kata orang. Apakah kata orang sudah pasti benar?

Belum tentu. Mereka juga ngasal saja. Bagaimana mereka menuntut tanpa mau tahu kelanjutannya. Hal yang seolah wajar, biasa, dan tanpa beban. Mereka-mereka ini pula yang paling kenceng teriak kalau ada masalah. Entah sampai kapan tabiat yang seolah membudaya ini.

Beberapa hal layak dilihat sebagai berikut;

Model berbicara baru mikir kadang kita alami. Basa-basi demi sopan santun yang tidak jarang melukai rekan, anak kita bahkan, atau kerabat. Pembicaraan yang awalnya untuk membuka komunikasi, anaknya berapa, atau kerja di mana. Lanjutannya ini yang membuat sensi, dibandingkan dengan rekan, atau anak teman, atau saudara.

Bertanya perlu hati-hati, mengerti dulu sikap atau kepribadian yang ditanya. Bagaimana mereka merespons itu kelihatan kog. Jangan sampai sudah pasang muka masam, mata yang tidak bersahabat masih saja dicecar dengan model tanya yang tidak dikehendaki.

Masing-masing orang itu sangat mungkin berbeda menyikapi sekadar pertanyaan. Ada yang itu menekan dan menjadikan depresi, ada pula yang dianggap angin lalu dan bukan masalah. Tanya dijawab tidak suka ya sudah tinggal. Pribadi pragmatis yang tidak banyak mampu bersikap demikian.

Apakah cukup menggunakan standar diri, seperti ketika menggunakan pakaian, ukuran kita? Tidak bisa. Orang lain itu memiliki pikiran, perasaan, dan tentu cara pandang yang berbeda. Jangan merasa bagi kita itu biasa untuk pihak lain juga biasa. Apalagi yang namanya luka batin itu masing-masing orang bisa sangat berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun