Hanya karena latah, merasa berbeda kemudian bisa sesukanya. Tidak mungkin hilang malah sepeda begitu. Orang maling sepeda sejutaan dan dijual seratusan cepat dan susah dilacak, itu logis. Dampak sosial yang membuat kelucuan.
Akibat kesehatan, dilaporkan banyak yang meninggal, ketika bersepeda. Lha iyalah, sekian lama sudah nyaman bermobil, bermotor, duduk di kantor, sekian bulan hanya di rumah, tiba-tiba bersepeda, seger, dan merasa baik-baik saja. Lupa onderdil sudah tidak terbiasa lagi dengan alam lepas bebas, matahari, angin, dan juga gerakan-gerakan badan kala menggowes sangat mengagetkan tubuh.
Bergerombol, abai protokol kesehatan ketika beraktivitas. Jadilah malapetaka. Ini karena latah, ikut-ikutan, tidak tahu dengan baik apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dijalani. Hal-hal baik sekian lama dulu juga dibuang karena latah, dianggap kuno, tidak modern, dan ketinggalan zaman. Ada pula dikaitkan dengan agama.
Padasan depan rumah, tempat air untuk cuci kaki-tangan usai bepergian. Bisa juga untuk wudlu sebelum aktivitas ibadah saudara Muslim. Hilang semua. Kini dimulai lagi. Di mana-mana orang menaruh ember dan diberi sabun.
Masalah yang sangat mungkin terjadi  nanti adalah, ember ini tidak pernah dicuci dan dibersihkan, benar tertutup, toh sangat mungkin kemasukan lumut, jamur, dan bakteri yang tidak tahu. Jika paham dengan baik, hal demikian tentu tidak akan terjadi. Jangan sampai  karena hanya  latah abai yang esensial dan kemudian jadi bencana baru. Sama dengan portal jalan, bersepeda, dan lainnya.
Elit, pemimpin, dan juga penanggung jawab, serta pengambil keputusan juga kadang latah. Bisa latah karena agama, atau kepentingan politik sendiri dan golongan. Riuh rendah miskin esensi yang malah mengacau bukan membantu. Siapa yang mampu atau sekadar latah banyak disaksikan dan dinilai sendiri.
Meniru sih baik, namun tahu dengan persis apa yang ditiru itu baru bener. Jangan sampai meniru namun malah terjebak sendiri. Ilmu pengetahuan melimpah, namun ada pula yang sesat lho. Membawa ke jalan yang tidak semestinya.
Pendidikan kita memang masih cenderung pembebek, belum sampai ranah berani berinovasi, berbeda di kelas adalah salah dan bisa-bisa tidak naik kelas. Masalah krusial yang belum disadari ada dan berdampak gede. Pelajar kita tidak tahu esensi, hanya ribut soal sampul, baju, namun abai isi buku dan badan. Pelajarnya begitu ya wajar, wong guru dan elitnya juga sama saja.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H