Covid, Kepemimpinan, dan Sikap Latah
Selama pandemi ini banyak karakter seseorang, kelompok, atau bahkan pemimpin itu keluar karakter dasarnya. Sesuatu yang spontan, butuh kreatifitas, inisiatif itu perlu apa adanya. Kondisi yang tidak biasa, belum pernah, dan di luar rutinitas akan memberikan bukti kemampuan dasarnya. Pencitraan, berkutat di balik tim, dan memainkan kata semua terbukti ketika hal-hal yang sama sekli tidak diduga terjadi.
Beberapa hal ternyata memperlihatkan semata latah, bukan pengetahuan mendasar apalagi menyeluruh. Ikut kata A kemudian dibantah B gani lagi kata C dan begitu seterusnya. Tentu masih ingat bagaimana hand sanitizer dan masker menguap dari peredaran dan dijual dengan harga gila-gilaan bukan?
Pun berjemur. Dampak bagus, lahirlah polemik soal jam dan intensitas sinar matahari. WHO yang Barat banget itu lupa pukul 10 di sini malah bisa jadi masalah. Langsung deh hilang. Tidak lagi jadi pembicaraan, bagi-bagi ulasan dan artikel, di mana-mana. Simat yang sejak dulu kala diketahui baik dan buruknya terlupakan lagi.
Penyemprotan disinfektan, pendirian kombong-kombong untuk itu, marak, ketika ada bantahan dan kisah yang berbeda, hilang. Padahal ada juga manfaatnya secara tidak langsung. Itu juga hanya sesaat dan kemudian senyap, tidak lagi berbekas.
Istilah lock down, karantina, PSBB, dan macam-macamnya juga latah di mana-mana. Dalih untuk malas dengan hanya duduk di rumah. Diminta datang kerja dengan alasan LD. Padahal tidak ada sama sekali LD di sini. Gang dan jalan-jalan diportal, dipalang-palang. Lha memangnya virus lewat jalan itu? Wong nyatanya orangnya masih berkeliaran seolah tidak ada apa-apa.
Jalannya ditutup, orang masih bisa ngider pakai gang atau emperan rumah orang. Esensinya tidak tahu. Yang perlu dibatasi itu pergerakan orang, wong malah jaga gang dan terpapar di sana, jelas karena tidak paham yang harus dilakukan.
Kini, yang terbaru, entah siapa yang memulai, kegiatan bersepeda. Tidak ada yang salah dengan aktivitas yang satu ini. Beberapa hal yang  biasa mengekor aksi ini. permintaan sepeda sampai naik 300%. Harga melambung dan barang di pasaran seolah hilang. Sisi ekonomi, yah paham model berdagang di negeri ini lah.
Tabiat. Ada berita lucu atau miris, atau malah mengerikan? Ketika merasa sepedanya jutaan, dibawa masuk ketika makan. Maling sepeda puluhan juta itu malah susah lho. Pernah dengar gak kemalingan mobil mewah? Paling terdengar juga mobil sejuta umat, mengapa? Penjualan gampang, kesamaan di mana-mana ada.
Bayangin nyolong Lexus, yang punya gak banyak, mau melempar juga ke mana. Kan sama juga, mosok sepeda puluhan juta mau dicolong, susah malah. Dipakai sendiri juga gampang ketahuan. Dijual lagi siapa juga yang mau beli.
Pembeli barang colongan itu kan mau hidup atas namun belum mampu. Yang sekelas M atau ratusan juga, tentu beli mobil yang level biasa sudah bisa. Gakk akan mau barang colongan tetapi mudah ketebak.
Hanya karena latah, merasa berbeda kemudian bisa sesukanya. Tidak mungkin hilang malah sepeda begitu. Orang maling sepeda sejutaan dan dijual seratusan cepat dan susah dilacak, itu logis. Dampak sosial yang membuat kelucuan.
Akibat kesehatan, dilaporkan banyak yang meninggal, ketika bersepeda. Lha iyalah, sekian lama sudah nyaman bermobil, bermotor, duduk di kantor, sekian bulan hanya di rumah, tiba-tiba bersepeda, seger, dan merasa baik-baik saja. Lupa onderdil sudah tidak terbiasa lagi dengan alam lepas bebas, matahari, angin, dan juga gerakan-gerakan badan kala menggowes sangat mengagetkan tubuh.
Bergerombol, abai protokol kesehatan ketika beraktivitas. Jadilah malapetaka. Ini karena latah, ikut-ikutan, tidak tahu dengan baik apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dijalani. Hal-hal baik sekian lama dulu juga dibuang karena latah, dianggap kuno, tidak modern, dan ketinggalan zaman. Ada pula dikaitkan dengan agama.
Padasan depan rumah, tempat air untuk cuci kaki-tangan usai bepergian. Bisa juga untuk wudlu sebelum aktivitas ibadah saudara Muslim. Hilang semua. Kini dimulai lagi. Di mana-mana orang menaruh ember dan diberi sabun.
Masalah yang sangat mungkin terjadi  nanti adalah, ember ini tidak pernah dicuci dan dibersihkan, benar tertutup, toh sangat mungkin kemasukan lumut, jamur, dan bakteri yang tidak tahu. Jika paham dengan baik, hal demikian tentu tidak akan terjadi. Jangan sampai  karena hanya  latah abai yang esensial dan kemudian jadi bencana baru. Sama dengan portal jalan, bersepeda, dan lainnya.
Elit, pemimpin, dan juga penanggung jawab, serta pengambil keputusan juga kadang latah. Bisa latah karena agama, atau kepentingan politik sendiri dan golongan. Riuh rendah miskin esensi yang malah mengacau bukan membantu. Siapa yang mampu atau sekadar latah banyak disaksikan dan dinilai sendiri.
Meniru sih baik, namun tahu dengan persis apa yang ditiru itu baru bener. Jangan sampai meniru namun malah terjebak sendiri. Ilmu pengetahuan melimpah, namun ada pula yang sesat lho. Membawa ke jalan yang tidak semestinya.
Pendidikan kita memang masih cenderung pembebek, belum sampai ranah berani berinovasi, berbeda di kelas adalah salah dan bisa-bisa tidak naik kelas. Masalah krusial yang belum disadari ada dan berdampak gede. Pelajar kita tidak tahu esensi, hanya ribut soal sampul, baju, namun abai isi buku dan badan. Pelajarnya begitu ya wajar, wong guru dan elitnya juga sama saja.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H