Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Orangtua atau Orang yang Tua, itu Pilihan

24 Juni 2020   20:23 Diperbarui: 24 Juni 2020   20:17 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Tua atau Orang yang Tua, itu Pilihan

Pagi-pagi diskusi dengan rekan Kner, ia menyatakan bahwa rekannya mengeluhkan bahwa orang tuanya seperti bayi yang menikah. Hal yang identik dikatakan rekan lain di mana ayah angkatnya sangat idealis dalam hidup beragama, namun semata di luar, dan ketika memerintahkan beribadat, perilaku secara umum jauh dari itu.

Ketika ada orang memuji si bapak sebagi aktivis keagamaan, ia bukannya bangga malah mencibir karena merasa orang mengenal hanya tampilan semata. Perihidup di rumah bertolak belakang dengan itu semua. Kedua kisah ini adalah luka batin atas keberadaan orang tua, orang yang tua.

Sebuah status media sosial saya menyebut orang yang tua atau orang tua, mendapat respons dari rekan Kner bahwa tidak ada orang tua itu yang pengalaman, hanya menjalankan perutusan atau amanah Tuhan. Keren, saya setuju, namun apakah demikian adanya di dalam konteks hidup faktual harian? Layak dilihat lebih dalam lagi.

Menjalankan perutusan Tuhan di tengah dunia tentu capaian tertinggi manusia di tengah dunia. Pekerjaan, status perkawinan, atau memilih jalan lain, dan apapun itu demi Tuhan. Jelas puncak upaya manusia menuju ke sana. Toh tidak banyak yang mampu memahami demikian, apalagi para pelaku hidup berkeluarga yang awalnya ada keterpaksaan. Beberapa hal yang menjadi penyebab perkawinan adalah paksaan bisa dilihat sebagai berikut;

Takut gelar atau sebutan, perawan-jejaka tua, jones jomblo ngenes, atau dikatakan tidak laku. Sosiologis dan tabiat berbudaya kita memang usil, usai sekolah atau kuliah, kerja dikitt ditanya kapan kawin, temannya nikah digedor kapan nyusul, dan itu seolah biasa saja. Tanpa memikirkan dampak panjang dan belum tentu baik-baik saja yang ditanya. Tiap orang berbeda menyikapi hal yang bisa mungkin sangat sepele.

Kecelakaan. Lebih parah lagi, misalnya karena hamil di luar nikah atau ditangkap massa. Budaya tertentu semata mengantar  lawan jenis tanpa tahu alasan pokoknya harus dinikahi. Kondisi di luar kendali seperti ini beragam. Sangat mungkin terjadi.

Pasangan lain merasa sakit hati pasangannya menikah dengan orang lain, dan demi gengsi cepat-cepat menerima pinangan orang yang baik ia kenal atau kadang tidak dikenal sebelumnya. Pokoknya bisa nikah. Hal yang lain, identik dengan alasan model ini juga ada. Toh semata hanya alasan bahwa pernikahan itu tidak atau belum tentu mencapai tujuan hakiki, apalagi sampai pengabdian pada Tuhan.

Alasan dan ilustrasi di atas tentu kondisi ekstrem. Tidak semua anak dan juga orang tua mengalami hal yang sama. Belum tentu bahwa pernikahan hasil  hansip itu pasti jelek. Atau pernikahan takut jomlo juga buruk. Tidak mesti. Ulasan ini tentu berdasar asumsi secara umum. Manusia tidak akan bisa diulas sebagaimana ilmu pasti. Hanya sebentuk bagaimana kemungkinan-kemungkinan terburuk itu terjadi.

Perkembangan kedewasaan tidak tergantu sepenuhnya dengan usia, pendidikan, dan juga pengalaman. Sangat mungkin orang berpengalaman di mana-mana, pendidikan tinggi, juga usai matang, namun dalam mendidik anak sangat puritan, kolot, dan jauh dari kata modern. Atau keluarga lain yang pendidikan tidak tinggi, cukupan, pengalaman juga pas-pasan namun mendidik anak dengan istimewa.

Semua tergangtung pada kerja sama pasangan itu di dalam menerapkan pendidikan. Kesadaran bahwa mereka ada orang tua, bukan orang yang semata tua, itu perlu yang namanya kesadaran. Naluri mungkin perlu, namun sangat tidak cukup. Kelas, pendidikan, atau kursus persiapan perkawinan kadang hanya semata formalitas.

Kesadaran menjadikan pasangan itu akan mengantar masa depan dunia, anak-anak itu perlu untuk menjadi pemahaman. Mereka tidak sekadar membesarkan anak-anak, namun juga mendidik, mengarahkan, mengajar, dan juga merawat mereka dengan kasih sayang.

Kadang masalahnya adalah orang tua itu mendidik anak dengan cara identik dengan apa yang mereka terima semata. Lebih parah ketika era modern ini ada semboyan, pokoke meneng. Anak asal diam, tidak rewel, tidak ribet itu prestasi,

Akibatnya adalah anak menjadi ugal-ugalan, urakan, tidak kenal mana baik dan salah, mana baik dan buruk, karena memang tidak diajar. Pengajarnya smarphone, sejak dini anak main dan menonton games tanpa kenal waktu. Mengapa? Karena pokoknya anaknya diam, orang tua bisa melakukan apa saja.

Padahal belum tentu pendidikan itu menyenangkan anak, membuat anak nyaman dan selalu tenang. Kadang perlu juga tindakan tegas, disiplin juga perlu pendekatan yang pasti akan membuat anak meradang. Itu kesulitan yang memang konsekuensi dari orang tua dalam mendidik. Cenderung tidak enak yang namanya pendidikan dan proses belajar apalagi hidup itu.

Kesiapan ini yang sangat lemah ada dalam benak para pasutri. Padahal tidak sesederhana itu di dalam membangun perkawinan. Tanggung jawab besar, bukan semata beranak dan membesarkan anak. Anak itu masa depan dunia perlu banyak bekal. Makan relatif gampang, namun bagaimana mendidik mereka menjadi manusia berkualitas, berdaya guna, mampu bersaing dengan sehat, dan juga cerdas secara berimbang.

Terima kasih dan salam

Susyharyawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun