Beberapa hari ini ada yang cukup menarik, ketika Indra Wibowo mengatakan ada yang membayar 100 M untuk kembali menjadi Kristen. Eit padahal dia dulu mengaku pastor, artinya Katolik dan juga konon sekolah menjadi bruder, padahal sekolah PL yang mengelola bruder. Artikel ini bukan membahas itu. Hanya soal 100 M ini yang cukup menarik.
Saya jelas emoh. Mengapa? Gak ada yang bayar, he..he...lha dampaknya juga apa jika saya menjadi mualaf, ataupun murtad, atau apapun namanya. Sama saja, tidak ada yang akan kepo, memberitakan, apalagi memviralkannya. Jawaban ini juga akan sama dengan apa yang rekan Kompasianer akan alami. Mau pindah seperti pindah angkot juga tidak ada yang peduli.
Berbeda ketika itu adalah pesohor, artis, politikus, pengusaha kelas kakap, atau pejabat publik yang dikenal banyak orang. Ulasan ini mau melihat bagaimana dan mengapa bisa demikian heboh, gagap, dan ribetnya sih hidup beragama di Indonesia itu?
Saya sih memahami agama itu sederhana saja. Ketika saya bisa menjalin relasi dengan Tuhan apapun itu namanya dengan gampang, nyaman, dan santai, tidak ribet itulah gunanya beragama.
Mengembangkan iman saya akan Tuhan yang saya kenal, entah apapun sebutannya. Itu semata label. Bebas mau bahasa atau dengan sebutan apapun.
Berkaitan dengan relasi pada Yang Transenden itu bukan hanya klaim semata. Mengaku saleh namun apa buktinya? Fakta orang religius, beragama, beriman itu akan membawa cinta kasih. Â Semua itu kasat mata. Iman itu tidak kelihatan, namun buah iman dan agama itu sangat jelas dilihat, dirasa, dan juga didengar. Kata-katanya baik, bukan cacian.
Apa yang ditampilkan orang beriman mendalam itu kelihatan dari bahasa tubuhnya. Wajah yang teduh, menyenangkan, dan membuat orang tertarik, tidak malah sebaliknya. Ramah, penuh senyum, teduh, dan menjanjikan ketenangan, bukan malah ancaman.
Sikap dalam berelasi pun demikian, terbuka, bukan menebarkan ancaman dan intimidasi. Bisa dilihat kog dari wajah-wajah tokoh-tokoh besar agama, apapun namanya dan asalnya, sama tampilan Adikodrati ada di sana.
Dapat didengar. Kata-kata lembut, menenangkan, memotivasi, dan membawa harapan dan antusiasi, itu pembawaan orang beriman. Mana apa mengaku pribadi beriman dan beragama namun menebarkan ketakutan baik lisan atau malah perilaku. Hal yang sederhana bukan?
Pun dalam pikiran, misalnya dalam beropini dan membagikan karya dalam bentuk tertulis. Bahasa santun dan menyenangkan, memberikan pencerahan itu buah iman dan agama.
Gereja mau membayar satu orang untuk menjadi jemaatnya, jelas tidak usah dipercaya. Mengapa?
Pertama, ini adalah egoisme beragama. Esensi beragama itu adalah justru sangat terbuka, bukan malah menutup diri dan egois. Bangga bahwa mendapatkan tambahan umat, eh dengan membayar dan mahal pula. Apapun gerejanya, jelas tidak bisa dipercaya. Lebih memikirkan satu umat dari pada banyak kisah dan kasus lain yang mendesak.
Kedua, gereja itu seyogyanya berpikir pada yang paling lemah, miskin, tersingkir, bukan yang tenar, jaya, dan dalam konteks tertentu berkuasa. Jika dihitung, untuk menyantuni anak telantar bisa berapa puluh atau ratus anak dan berapa tahun pendidikan. Berkaitan dengan poin satu juga.
Ketiga, di tengah pandemi seperti ini, bagaimana uang 100 M itu sangat berdaya guna. Orang bisa mendadak miskin, dapat tiba-tiba tidak berdaya karena pandemi ini. Coba, telaah saja, macam apa lembaga beragama mau menggelontorkan uang hanya untuk satu orang, di tengah megap-megapnya dunia?
Keempat, naif ketika gereja mengejar nama besar dengan "membeli" umat. Benar, bahwa esensi berkarya adalah mencari domba yang tersesat. Konteks ini tentu bukan dengan uang dan memaksakan kehendak. Apalagi di tengah tabiat mabuk agama di Indonesia. Hal yang tidak dilakukan saja dituduhkan, apalagi jika benar terjadi bisa berabe.
Kelima, kemampuan finansial gereja-gereja di sini tidak mungkin. Apa yang mau ditarik balik dari itu? misalnya memviralkan via youtube? Omong kosong, hanya sebuah investasi yang membakar uang, tanpa makna. Mana ada yang tertarik menonton, menghujat iya pasti, dan itu tidak banyak.
Keenam, but apa bayaran mahal, tidak akan berguna, karena beragama di sini itu tradisional, warisan, dan sangat kuat, susah diiming-imingi dengan aneka rupa. Satu dua saja yang tergoda, dan pindah.
Kesimpulannya, ini bukan soal benar atau tidaknya tawaran itu, atau Indra mau apa itu pilihannya, kupasan saya adalah sekali lagi Gereja yang bersikap demikian jelas tidak bisa dipercaya. Jika pun benar ada, pasti bukan kebijakan Gereja namun orang per orang yang mau mendapatkan keuntungan dari peristiwa itu.
Dramatisasi yang tidak akan berguna, malah bisa menjadi tragedi, susah diterima nalar perilaku beragama demikian. Sikap  beragama yang perlu disadari untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi beragama yang dewasa. Ribut dan ribet pada label yang memberikan bukti masih kanak-kanak.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H