Lima, suara Demokrat itu pada posisi riskan. Pengalaman minim, ini tidak bisa cara instan untuk mendapatkannya kemampuan itu. Militer itu berciri komando, tidak akan ada bawahan berani membantah. Jauh bertolak belakang dengan politik, di mana semua bisa saja melakukan dan menyatakan apa yang ia pikir baik dan benar. Nah jika salah dalam menyikapi dan bersikap pada sisi ini bisa menjadi bencana.
Keberadaan AHY jelas tidak membawa dampak apapun bagi Demokrat ketika pemilu 19 yang lalu. Kelihatan tidak berdaya, ketika mendukung Prabowo namun juga membiarkan kader dan elitnya memilih sendiri. Jelas ini adalah kegamangan  bukan main dua kaki. Sangat berbeda. Main dua kaki itu penuh perhitungan. Gamang itu tidak tahu mau ke mana. Kala itu SBY pemimpinnya, toh AHY sangat berperan juga dengan kehadirannya di mana-mana.
Enam, SBY memang ahli main dua kaki, tetapi itu ditopang oleh politikus jempolan memainkan model itu. Kini semua hilang, ada karena bui, kecewa, atau pergi pindah partai. Sisa-sisa ini belum teruji memberikan bantuan signifikan bagi partai. Malah cenderung merongrong dengan pendapat mereka yang culun dan kadang kontroversial.
Tujuh, label partai korup dan  katakan tidak padahal korupsi masih begitu lekat. Eh kini malah Jiwasraya pun potensi menyeret mereka. Nama-nama yang sudah di pengadilan mengaitkan dengan kuat ke dalam inti Demokrat. Ini susah membersihkan. Apalagi kisah Anas, Andi, dan Angie itu  begitu kuat dalam benak masyarakat.
Delapan, pilihannya untuk menyerang secara frontal mengenai covid, menjadikan bumerang bagi mereka, karena terkesan bahwa mau melindungi diri dari Jiwasraya. Hal yang sangat mungkin terjadi, bagaimana namanya politik, ketika orang memainkan bidak, bidak lain juga sudah disiapkan pihak lain.
Berkali ulang, ini soal menyerang Jokowi yang orang tahu ia pekerja dan masih dalam jalur yang semestinya. Jauh lebih penting adalah memberikan sebentuk bantuan, bukan malah menghajar tembok yang sedang menahan gempuran pula. Salah-salah ikut terlibas, dan itu sangat mungkin terjadi.
Sembilan, keberadaan Demokrat itu tidak lagi seksi dan menjual, malah cenderung ketinggalan zaman dengan model dinasti. Tidak salah memberikan kepada anak, ketika memang mumpuni dan tidak ada kader lain yang cakap. Lha ini sebaliknya.
Perjuangannya pun cenderung demi kekuasaan anak dan kerabat, lha mau apa kader lain di sana? Jadi penonton dan hanya batu pijak saja?
Wajar ketika orang yang merasa mendirikan memiliki keprihatinan dan kemudian mengajukan diri sebagai pengurus yang baru. Silakan saja lengkapi berkasnya jika memang benar dan lengkap secara administrasi dan tidak ada pelanggaran hukum.
Terima kasih dan salam