Membangun Reputasi dalam Sosial Media
Kemarin pagi, ketika berbicara dengan rekan-rekan soal Narativ, program baru di Kompasiana, jadi keingat, bagaimana sosial media itu perlu banyak hal. Jika serius terjun dan menggeluti dunia medsos yang berdaya guna, perlu waktu, tenaga, dan juga kehendak yang kuat.
Salah satu syarat ada pencantuman akun media sosial lengkap, ada empat atau lima dan dengan jumlah pengikut tertentu. Hal yang belum tentu bisa tercapai dengan relatif baik. Sangat mungkin jika asal pengikut dan mengikuti sosial media mungkin saja. Semua akun media sosial saya, hanya FB yang layak jumlah teman mendekati limit 5000. Toh itupun banyak yang sama sekali tanpa interaksi. Â Mulai India, Pakistan, dan juga Amerika Latin. Lainnya minimalis.
Media sosial, toh identik dan komunitas itu terjadi dengan relatif sama. Ada ketersalingan, saling kunjung, saling koment, dan juga saling sapa? Mengapa? Dengan demikian, kita adalah pribadi yang terbuka, mau mampir, berdialog mungkin, atau sekadar basa-basi. Itu jelas perlu waktu, kehendak kuat, dan jelas waktu yang tidak sedikit.
Membangun reputasi itu tidak ada yang instan. Kesadaran yang seolah satu demi satu terkuak. Perlu kerja keras, kerja cerdas, dan mau berusaha terus menerus. Proses panjang, istilah proses tidak akan menghianati hasil itu benar dan perlu dijadikan pedoman. Semua perlu waktu, usaha, upaya, dan jelas ketekunan.
Masing-masing media memiliki kekhasan, pun Kompasiana. Kenali dan pelajari lebih jauh dengan baik. Nah secara umum memang besar bersama komunitas yang sama. Saling kunjung dan saling memberikan respons itu jelas sebagai kesamaan umum. Tetapi masing-masing media mempunyai ciri yang bisa berbeda satu sama lain.
Mungkin di media A model konflik bisa menjadikan cepat tenar, belum tentu di media B. Atau di media lain ada interaksi yang hangat berbeda di media yang lain. Pengenalan ini penting. Ada persamaan pun ada perbedaaan. Hanya bisa paham kalau terlibat di sana.
Menjadi diri sendiri. Ini penting, sehingga tidak tergoda untuk menggunakan cara rekannya di dalam mendapatkan rezekinya. Contohnya, kalau tidak berani konflik ya jangan konflik. Saya termasuk bukan orang yang suka konflik di dalam bermedia sosial. Berbeda dengan Anhuz yang memang tipikal menyerang. Artikelnya pun provokatif dan mengundang pihak lain untuk datang. Menautkan pada pihak-pihak yang berseberangan.
Model ini sangat mungkin memang cepat menaikan reputasi, dikenal, dan bisa terkenal. Nah ketika tidak siap padahal ketenarannya itu dikalangan hater kan bisa celaka. Kalau bukan tipe seperti ini ya jalani lakonnya sendiri.
Pegang keyakinan bahwa semua mendapatkan porsi, jalan, dan kesempatan yang belum tentu sama. Hal ini membuat untuk mampu bertahan, bukan memaksakan kehendak, nggege mangsa, memaksakan kesempatan dengan berbagai cara, yang belum tentu tepat. Contoh di atas. Kalau bukan tipikal menyerang, ya jangan mengambil model konfrontatif.
Gaya, style, atau model berinteraksi atau penulisan masing-masing orang itu bisa dan pasti malah berbeda, beragam, dan khas. Tidak akan bisa pelaku media satu diminta untuk menggunakan cara atau ala yang lain. Susah. Mungkin saja bisa dengan motivasi kuat untuk berubah. Toh tidak akan banyak perubahan. Ini adalah salah satu cara orang mengada yang susah direkayasa.
Maka, ketika orang dengan akun lain, baik fake, tuyul, atau hanya becanda, ketika nulis panjang akan ketahuan. Mereka biasanya akan main aman dengan tulisan-tulisan pendek ala status medsos. Jika model demikian susah dideteksi. Nah ketika cara mengada demikian susah diubah, pun cara dalam berinteraksi, pun menulis sangat susah diubah. Kecuali kesadaran dan motivasi sendiri.
Membaca dan mengulik cara penulis atau pelaku media lain itu baik. Namun sangat mungkin terjadi ada dua. Satu ketakutan sehingga tidak berani menuangkan gagasannya. Sangat mungkin, apalagi bagi pemula. Jika kesadaran poin-poin di atas belum sepenuhnya dipahami dan dihayati.
Dua, memotivasi untuk menyamai dan bahkan lebih baik lagi. Ini yang layak diupayakan. Lha apa iya bisa dan bener memotivasi? Susah juga jika keadaan psikologisnya lemah. Bagus membaca-baca  penulis lain, menuangkan gagasan, bagaimana membangun komunikasi, dan seterusnya.
Berinteraksi sama tinggi. Jika merasa diri rendah, bisa tidak berkembang. Ini bukan dalam arti tidak tahu diri atau minder, namun menempatkan diri setara. Belajar itu tidak harus ketakutan dan minder juga lah. Menempatkan diri setara tidak akan mudah diombang-ambingkan pendapat di dunia maya yang serba ada itu.
Tidak pula menempatkan diri lebih tinggi. Jika demikian kecenderungan menghakimi, menilai pihak lian lebih baik atau buruk, atau mengatur untuk ini dan itu. Ini adalah kecenderungan manusiawi yang adalah kodrati. Kesadaran untuk sama-sama itu menekan ego sehingga bersikap toleran.
Mau merendah atau meninggikan diri itu bukan soal benar salah, namun bagaimana hidup bersama itu dibangun. Toh itu style atau gaya juga. Soal penerimaan tentu komunitas itu yang akan menilai dan menentukan.
Semua itu perlu proses. Ada yang panjang ada yang singkat. Ada yang dengan kehebohan dan viral kemudian hilang, namun ada pula yang pelan-pelan namun pasti. Siapa yang menentukan adalah diri sendiri bersama komunitas yang digeluti. Susah jika sudah merasa besar di tempat lain dan kemudian juga merasa akan mudah menjadikan medan baru sama dengan yang pernah diperoleh.
Biarlah mengalir ke mana air mengalir, sama juga dengan tulisan dan keberadaan diri. Tulis apa yang mau ditulis, jadi diri sendiri dan ketika benar apa yang pihak lain katakan, sepanjang mampu diperbaiki, kalau tidak ya tidak usah memaksakan diri untuk ikut asihat itu.
Namanya media sosial, socius, berakar kata kawan, ya jalin pertemanan, bukan malah menjadikan kawan sebagai lawan tanding atau malah mencari lawan untuk kepuasan diri. Semua memiliki jalan dan muara masing-masing.
Terima kasih dan salam
Susyharyawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H