Beberapa malam yang lalu, ada Kner yang berkirim link mengenai keberadaan Uruguay yang bisa mengatasi pandemi dengan relatif baik. Mengatakan relatif karena belum ada  yang benar-benar bisa menjamin selesai dengan sepenuhnya. Masih dalam penantian. Namun hingga hari ini sudah membaik dibandingkan negara-negara lainnya.
Berita bagus ini malah tidak pernah ada yang membahas. Kematian sampai tanggal 27 pada dua digit, penularan 2.1 per juta penduduk, dan angka manula cukup tinggi. Ini prestasi, namun mengapa justru Venezuela yang mengunci seluruh negeri atau Equador yang mohon maaf jenazah tidak terurus lebih dulu dan sering terdengar?
Konon bad news is good news, berota buruk ada berita baik, konteks baik adalah yang menarik dan menjadi pemantik keingintahuan orang. Ini sih sikap mental masyarakat, manusiawi, dan kondisi kemanusiaan. Bagaimana orang itu lebih suka melihat pihak lain menderita, dan sedih jika orang lain bersuka cita atau mendapatkan hal baik.
Jogyakarta, ada tampilan apik ketika masyarakat menyambut tenaga kesehatan yang memasuki kawasan untuk beristirahat. Gaungnya sekejap, bandingkan dengan persoalan penolakan jenazah. Penerimaan dengan baik itu pun tidak menular, namun penolakan jenazah atau nakes berulang dan menular. Miris bukan?
Bali dan Yogya juga relatif baik dalam menyikapi pandemi ini, toh tidak pernah menjadi rujukan oleh elit apalagi oposan. Tetapi Jakarta bergetar, atau bansos ngaco, atau Jatim1 ribet dan ribut dengan L-1 jadi sambaran maut media, bak lele mendapatkan buangan kotoran. Lagi-lagi adalah manusia.
Dua hal bagaimana Uruguay bisa menghadapi itu dengan baik sebagai sebuah bangsa. Dua hal yaitu tertibnya masyarakat  pada kata otoritas. Kedua stabilitas politik. Hal yang jauh dari suasana sebagai bangsa di sini.
Ketaatan akan kata otoritas itu penting. Di sini dipengaruhi oleh kondisi point dua. Bagaimana rakyat yang mau taat itu diprovokasi  oleh elit dan barisan sakit hati, ala oposan. Lihat narasi mengatakan pemerintah lemah, padahal yang ada di lapangan adalah pemda tingkat I dan II, mengapa Jokowi menjadi sasaran. Kan lebay, membuat orang tidak respek dan mendengarkan. Dalihnya nanti adalah kembali soal pemerintah lemah. Susah lah  menghadapi orang banyak omong nol kerja, apalagi prestasi.
Rakyat yang taat jadi enggan dan panas karena merasa sia-sia. Lihat saja elit setiap hari ribut urusannya itu kursi. Lha keputusan apapun dibantah, tapi ironisnya tanpa dasar apalagi solusi yang memadai. Pokoknya pemerintah salah, jadi rakyat ya  tidak mau mendengarkan, karena pengacau ini.
Masker, ternyata sukses dijalankan di Urugay. Nah di sini, lihat saja bagaimana perilaku masyarakat. Ini perlu kerja keras dari petugas lapangan. Lha malah kades dihajar karena menegakan aturan. Kan gendeng.
Kedua jelas stabilitas politik. Konteks nomor satu di atas pun pengaruh politis. Pemain politik yang tidak berani bertarung. Lihat banyak pengusul dan pendiskusi makar itu orang-orang yang tidak berani bertarung. Minimal gede halusinasi, tanpa realisasi. Mana mereka pernah terpilih menjadi ini dan itu. Merasa gede dan  lebih pinter, tetapi keblinger.
Elit yang merasa gede tanpa kenyataan. Itu banyak, tanpa menyebut nama pun semua paham. Bagaimana mereka hanya hidup dalam impian semata. Pemilu dan jadilah penantang itu hebat. Keren tuh Prabowo meskipun kalah toh maju lagi, lah ini maju tidak mampu, malah minta pemenang pemilu turun. Mana tidak koplak.
Barisan sakit hati yang orangnya ya itu-itu saja. Pelakunya tidak jauh-jauh, kalah pemilu, birokrat terdepak, atau tokoh agama salah arah. Atas nama demokrasi kemudian merusak demokrasi itu sendiri. Munafik namun bangga. Ujung-ujungnya salawi, salahe Jokowi. Lha haji yang menutup arab Saudi karena pandemi, masih juga salah Jokowi, Â lha maunya ibadah haji di Monas apa?
Belum lagi media yang cenderung politis juga. Kecenderungan pemilik media menggiring pemberitaan, minimal pemilihan judul dengan kata-kata tendensius, bombastis, dan ujungnya adalah click bait, dan lebih jauh Jokowi salah. Miris sebenarnya.
Perbedaan itu tidak harus menjadi persoalan. Lha coba jika mak dan bapak sama apa ada kelahiran baru. Kan tidak. Prinsip yang abai dipegang oleh elit bangsa ini dalam mendidik masyarakat.
Normal baru harus dihadapi. Tidak mungkin tidak, tidak ada waktu lagi untuk tetap ngendon di rumah. Semua sudah harus dihadapi sebagai sebuah fakta. Persebaran yang harusnya selesai pada waktu 14 hari pertama kacau karena soal yang dibahas di atas itu. warga ndableg karena provokasi politikus miskin capaian. Jika mereka bekerja, mereka tidak akan ada waktu untuk ngoceh tidak berguna.
Badai itu pasti berlalu. Siapa yang siap akan tetap dan yang abai akan terbaiakan dan terlindas oleh zaman. Biar saja elit dan barisan sakit hati omong apa, yang jelas kehidupan dan cara baru hidup bersama perlu dijalani.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H