Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

8 Alasan Mendadak Ustad atau Habib

22 Mei 2020   19:54 Diperbarui: 22 Mei 2020   19:53 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penggunaan istilah atau gelar bukan hendak mendeskreditkan, namun menjadi sebuah perwakilan fenomena yang terjadi. Di mana-mana ketika kelompok terbesar penyumbang pula terbanyak dalam kisah minir dan juga fundamentalis. Toh masih banyak pula yang sangat bagus, inspiratif, dan rendang hati sebagaimana Habib Luthfi Pekalongan, Quraish Shihab yang merasa tidak pantas mengenakan gelar Habib karena merasa kedalaman ilmu dan akhlaknya masih perlu banyak belajar. Ada kehendak baik serta rendah hati di sana.

Dalam salah satu komentar dalam artikel terdahulu ada yang mengatakan terserah karena cucu nabi. Lha ini bukan soal cucu nabi atau cucu raja atau anak sultan atau anak cucu presiden, soal perilaku dan tindakan tidak patut, bahkan kriminal. Tidak ada pembenaran kekerasan karena klaim cucu nabi. Ini pun masih perlu dikupas lagi, fokusnya adalah perilaku ugal-ugalan dengan kemasan dan labeling agamis dan keturunan.

Eh belum juga reda satu kisah dengan label yang sama, ada lagi ugal-ugalan yang identik. Ingat ini bukan soal tokoh agama. Perilaku orang beragama dengan label khusus namun jauh dari kualifikasi orang beragama. Beberapa sebab layak dilihat lebih dalam sebagai alasan.

Pertama, ini produk politik, bukan agama. Sekali lagi ini produk politik, menggejala sejak era post 98. Mendapatkan puncaknya pada  zaman SBY dengan semboyan lawan satu terlalu banyak. Gagasan mau menyenangkan semua pihak yang menjadi bumerang. Suka atau tidak, sekarang panenan ketika mereka sudah mengakar kuat dengan jaringannya yang demikian luas dan fanatis buta.

Mengapa produk politik? Dalam banyak acara dan kondisi, isu politik praktis lebih kuat. Mencaci maki pemerintah bukan malah menebarkan kebaikan dan tuntutan hidup beragama. Media sosial menambah kemudahan untuk agenda ini. Ketika dominasi politik praktis aartinya ya memang pelaku dan produk politik dengan label dan kemasan agama. Agama kedok semata.

Kedua, literasi lemah. Suka atau tidak, kebanyakan masyarakat kita masih cukup lemah dalam literasi. Pokok banyak orang mengikuti dan dengar dianggap benar dan itu ikut-ikutan dan latah. Ketakutan dengan ini dan itu. Ketaatan karena takut bukan karena kebenaran dan rasa hormat. Kekerasan terselubung dengan neraka dan ancaman kutuk menjadikan jerih.

Jika saja kritis sedikit, apa iya orang beragama namun menebarkan kecemasan dan ketakutan. Kekerasan fisik dan juga psikis menjadi panglima? Kesempatan untuk belajar dan melek minim. Ketakutan yang diulang-ulang.

Ketiga, habitat subur. Suka atau tidak, model penjajah yang diikuti cara Soeharto mempertahankan kekuasaan adalah sikap saling curiga, cemas akan liyan, dan sikap merasa lebih hebat. Nah kondisi ini yang menjadi lahan subur dengan aneka kemabukan politik dan agama. Elit yang tahu dengan baik kondisi ini terus memainkan bidaknya. Seperti dalang wayang, mereka hanya tinggal menggerakan yang mana untuk menekan pihak lain.

Selain agama, suku, dan ras juga menjadi mainan elit demi uang dan kekuasaan. Kentara ini siapa di balik apa. Elit pusat itu pasti tahu maunya apa dan perlu tindakan apa. Mirisnya adalah negara dan rakyat menjadi korban.

Keempat, feodalisme. Ini sangat kuat, model ningrat dan hamba sahaya demikian lekat. Orang bisa gila kuasa, pangkat, dan juga jabatan. Dulu ijazah dan gelar berderet, kini sudah beralih dengan pakaian agamis dan label agamis. Apapun agamanya tetap saja dikotomi elit dan awam itu demikian kuat. Abangan dan priyayi yang masih cukup berpengaruh dan dimanfaatkan elit yang enggan kenyamanannya terganggu.

Kelima, pemuja asing, mau Barat atau Timur Tengah sama saja. Ini soal mentalitas. Sama dengan point empat, feodalisme yang memandang yang berbau asing itu lebih baik. Jangan heran orang lebih suka menyisipkan kata-kata asing mau Inggris atau Arab agar dinilai keren. Tidak karena padan katanya tidak ada. Hanya menilai dan terlihat lebih keren.

Lihat saja elit negeri ini pun demikian. Bagaimana mau bangga dengan budaya lokal, ketika kata sederhana saja memilih asing untuk menggantikannya. Nama-nama daerah, kawasan, wisata, perumahan asing itu mendominasi. Ini bukan soal antiasing namun yang wajar bukan malah menjadi marjinal di negeri sendiri.

Keenam. Pembiaran. Jelas karena pemanfaatan di era lalu, kemarin enggan kerja keras, pokok anteng, diam, dan nyaman, semua senang. Pembiaran suka-suka asal semua tenang menjadi gaya yang menjanjikan bagi kelompok ini. Mereka meraja lela menjadi polisi, hakim, dan jaksa dalam banyak kasus. Negara tidak hadir, ketika tidak menyangkut keluarga presiden kala itu. Nah lagi-lagi ini adalah panenan.

Ketujuh, budaya permisif. Ini sebenarnya adalah kekuatan, sayang bahwa pendatang, apapun yang semena-mena dan memaksakan kehendak, bukan soal agama satu dan yang lain baik, tidak. Semua yang merusak tatanan budaya awali Nusantara sama buruknya. Begitu banyak budaya dan tradisi adiluhung hilang karena pemaksaan kehendak pendatang.

Hal baik itu disalahgunakan dan malah menjadi asing di negeri sendiri. Miris bukan? Lebih menyesakkan lagi  jika dianggap tidak beradab dan ketinggalan zaman lagi. Padahal tidak mesti demikian.

Kedelapan. Minim prestasi, mohon maaf dengan segala hormat, orang-orang yang menggunakan label-label tertentu biasanya karena kurang percaya diri. Nah orang yang minder akan mudah menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dan pengaruh. Kekerasan bisa berupa pemaksaan dengan kekuatan otot atau kata-kata yang memojokan dan menjelek-jelekkan.

Membangun karakter pribadi dengan merendahkan pihak lain, padahal tidak harus demikian. Bangun  kualitas diri itu dengan perjuangan, proses panjang, kesetiaan di dalam belajar dan mendengarkan pengajaran, serta tidak lupa santun.

Sekali lagi ini berbicara pelaku dan perilaku beragama, bukan soal agama. Tidak berkenan, tidak perlu caci maki, tulis saja sendiri.  Janganlah menjadi agen atau pion dari pihak yang mau merongrong negara, tanpa kita sadari. Hal yang banyak diabaikan karena sikap kritis yang lepas karena takut dan kacau antara agama dan politik.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun