Penggunaan istilah atau gelar bukan hendak mendeskreditkan, namun menjadi sebuah perwakilan fenomena yang terjadi. Di mana-mana ketika kelompok terbesar penyumbang pula terbanyak dalam kisah minir dan juga fundamentalis. Toh masih banyak pula yang sangat bagus, inspiratif, dan rendang hati sebagaimana Habib Luthfi Pekalongan, Quraish Shihab yang merasa tidak pantas mengenakan gelar Habib karena merasa kedalaman ilmu dan akhlaknya masih perlu banyak belajar. Ada kehendak baik serta rendah hati di sana.
Dalam salah satu komentar dalam artikel terdahulu ada yang mengatakan terserah karena cucu nabi. Lha ini bukan soal cucu nabi atau cucu raja atau anak sultan atau anak cucu presiden, soal perilaku dan tindakan tidak patut, bahkan kriminal. Tidak ada pembenaran kekerasan karena klaim cucu nabi. Ini pun masih perlu dikupas lagi, fokusnya adalah perilaku ugal-ugalan dengan kemasan dan labeling agamis dan keturunan.
Eh belum juga reda satu kisah dengan label yang sama, ada lagi ugal-ugalan yang identik. Ingat ini bukan soal tokoh agama. Perilaku orang beragama dengan label khusus namun jauh dari kualifikasi orang beragama. Beberapa sebab layak dilihat lebih dalam sebagai alasan.
Pertama, ini produk politik, bukan agama. Sekali lagi ini produk politik, menggejala sejak era post 98. Mendapatkan puncaknya pada  zaman SBY dengan semboyan lawan satu terlalu banyak. Gagasan mau menyenangkan semua pihak yang menjadi bumerang. Suka atau tidak, sekarang panenan ketika mereka sudah mengakar kuat dengan jaringannya yang demikian luas dan fanatis buta.
Mengapa produk politik? Dalam banyak acara dan kondisi, isu politik praktis lebih kuat. Mencaci maki pemerintah bukan malah menebarkan kebaikan dan tuntutan hidup beragama. Media sosial menambah kemudahan untuk agenda ini. Ketika dominasi politik praktis aartinya ya memang pelaku dan produk politik dengan label dan kemasan agama. Agama kedok semata.
Kedua, literasi lemah. Suka atau tidak, kebanyakan masyarakat kita masih cukup lemah dalam literasi. Pokok banyak orang mengikuti dan dengar dianggap benar dan itu ikut-ikutan dan latah. Ketakutan dengan ini dan itu. Ketaatan karena takut bukan karena kebenaran dan rasa hormat. Kekerasan terselubung dengan neraka dan ancaman kutuk menjadikan jerih.
Jika saja kritis sedikit, apa iya orang beragama namun menebarkan kecemasan dan ketakutan. Kekerasan fisik dan juga psikis menjadi panglima? Kesempatan untuk belajar dan melek minim. Ketakutan yang diulang-ulang.
Ketiga, habitat subur. Suka atau tidak, model penjajah yang diikuti cara Soeharto mempertahankan kekuasaan adalah sikap saling curiga, cemas akan liyan, dan sikap merasa lebih hebat. Nah kondisi ini yang menjadi lahan subur dengan aneka kemabukan politik dan agama. Elit yang tahu dengan baik kondisi ini terus memainkan bidaknya. Seperti dalang wayang, mereka hanya tinggal menggerakan yang mana untuk menekan pihak lain.
Selain agama, suku, dan ras juga menjadi mainan elit demi uang dan kekuasaan. Kentara ini siapa di balik apa. Elit pusat itu pasti tahu maunya apa dan perlu tindakan apa. Mirisnya adalah negara dan rakyat menjadi korban.
Keempat, feodalisme. Ini sangat kuat, model ningrat dan hamba sahaya demikian lekat. Orang bisa gila kuasa, pangkat, dan juga jabatan. Dulu ijazah dan gelar berderet, kini sudah beralih dengan pakaian agamis dan label agamis. Apapun agamanya tetap saja dikotomi elit dan awam itu demikian kuat. Abangan dan priyayi yang masih cukup berpengaruh dan dimanfaatkan elit yang enggan kenyamanannya terganggu.
Kelima, pemuja asing, mau Barat atau Timur Tengah sama saja. Ini soal mentalitas. Sama dengan point empat, feodalisme yang memandang yang berbau asing itu lebih baik. Jangan heran orang lebih suka menyisipkan kata-kata asing mau Inggris atau Arab agar dinilai keren. Tidak karena padan katanya tidak ada. Hanya menilai dan terlihat lebih keren.