Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

8 Alasan Mendadak Ustad atau Habib

22 Mei 2020   19:54 Diperbarui: 22 Mei 2020   19:53 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lihat saja elit negeri ini pun demikian. Bagaimana mau bangga dengan budaya lokal, ketika kata sederhana saja memilih asing untuk menggantikannya. Nama-nama daerah, kawasan, wisata, perumahan asing itu mendominasi. Ini bukan soal antiasing namun yang wajar bukan malah menjadi marjinal di negeri sendiri.

Keenam. Pembiaran. Jelas karena pemanfaatan di era lalu, kemarin enggan kerja keras, pokok anteng, diam, dan nyaman, semua senang. Pembiaran suka-suka asal semua tenang menjadi gaya yang menjanjikan bagi kelompok ini. Mereka meraja lela menjadi polisi, hakim, dan jaksa dalam banyak kasus. Negara tidak hadir, ketika tidak menyangkut keluarga presiden kala itu. Nah lagi-lagi ini adalah panenan.

Ketujuh, budaya permisif. Ini sebenarnya adalah kekuatan, sayang bahwa pendatang, apapun yang semena-mena dan memaksakan kehendak, bukan soal agama satu dan yang lain baik, tidak. Semua yang merusak tatanan budaya awali Nusantara sama buruknya. Begitu banyak budaya dan tradisi adiluhung hilang karena pemaksaan kehendak pendatang.

Hal baik itu disalahgunakan dan malah menjadi asing di negeri sendiri. Miris bukan? Lebih menyesakkan lagi  jika dianggap tidak beradab dan ketinggalan zaman lagi. Padahal tidak mesti demikian.

Kedelapan. Minim prestasi, mohon maaf dengan segala hormat, orang-orang yang menggunakan label-label tertentu biasanya karena kurang percaya diri. Nah orang yang minder akan mudah menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dan pengaruh. Kekerasan bisa berupa pemaksaan dengan kekuatan otot atau kata-kata yang memojokan dan menjelek-jelekkan.

Membangun karakter pribadi dengan merendahkan pihak lain, padahal tidak harus demikian. Bangun  kualitas diri itu dengan perjuangan, proses panjang, kesetiaan di dalam belajar dan mendengarkan pengajaran, serta tidak lupa santun.

Sekali lagi ini berbicara pelaku dan perilaku beragama, bukan soal agama. Tidak berkenan, tidak perlu caci maki, tulis saja sendiri.  Janganlah menjadi agen atau pion dari pihak yang mau merongrong negara, tanpa kita sadari. Hal yang banyak diabaikan karena sikap kritis yang lepas karena takut dan kacau antara agama dan politik.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun