Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bahar Smith dan Narasi Kebenaran Pokoke

19 Mei 2020   12:32 Diperbarui: 19 Mei 2020   13:25 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bahar Smith  dan Narasi Kebenaran Pokoke

Usai dibebaskan Bahar Smith ditangkap lagi. Jelas pasal yang disangkakan dan dijadikan dasar pidana adalah kekerasan kepada anak. Dalih pengajaran, politis, atau apapun itu tidak bisa ia buktikan bersama tim pengacaranya.  Sesaat dibebaskan ia kembali melanggar aturan karena adanya kumpulan massa di tengah pandemi. Ini jelas pula pasal pelanggaran hukumnya.

Pidana Politik

Ia menglaim demikian, apa benar? Dapat dilihat dalam beberapa hal sebagai berikut;

Tidak ada satupun klaim tahanan politik itu mendapatkan alibi yang sahih secara politis. Persaingan Jokowi hanya bisa diimbangi oleh Prabowo. Jika Prabowo ditahan itulah tahanan politik. Rival terberat dimasukan bui dengan alasan yang dicari-cari dan sangat tidak mendasar itulah tahanan politik. Lha siapa Bahar Smith ini? Pemain politik bukan, lawan Jokowi pun tidak. Dasarnya dari mana coba?

Toh klaim politis soal pidana selama ini juga mentok pada klaim, pembuktian nol besar. Ada nama-nama Ratna Sarumpaet, juga soal ngibul bersama-sama tidak mau ngaku, ada Ahmad Dhani ini soal mulut lemes, atau mau tentara juga sipil selalu begitu. Mengaku ini politis, padahal karena melanggar hukum karena emosional yang tidak terjaga. Artinya memang salah karena pelanggaran hukum.

Pasal penganiayaan juga pasti, bukan rekayasa, bukan pasal karet. Akan berbeda jika ia dibui karena UU ITE atau pasal subversif. Ini penganiayaan anak-anak lagi. Ada korban, ada saksi, bahkan ada rekamannya. Politiknya di mana coba?

Kapasitas Bahar juga apa sih? Coba copoti label yang "membesarkannya" dengan nama atau sebutan di depannya itu, kemudian pakaian yang dikenakan. Tampil biasa, apakah akan ada yang mendengarkan sebagaimana ia tampil dengan pakaian dan nama kebesaran? Masih belum ada apa-apanya. Klaim ketinggian.

Tanpa kasus Rizieq Shihab yang ke Arab Saudi, keberadaan Bahar Smith belum ada apa-apanya. Suka atau tidak, pengumpulan massa dan agitasi Rizieq Shihab sudah banyak terbukti selama ini bisa membuat stabilitas negara terganggu. Tentu berkolaborasi dengan banyak pihak yang memiliki tujuan yang sama.

Masih terlalu dini, jika menglaim ia sebagai tahanan politik. Tidak ada yang terganggu oleh reputasinya. Massa yang ada belum cukup untuk bisa meneror kelas kecamatan paling. Ingat ini pun ada irisan dengan nama Rizieq Shihab, jadi tanpa adanya kelompok Rizieq dia bukan apa-apa.

Eh malah sudah banyak dibagikan di mana-mana ternyata cara berkomunikasi, bukan dakwah, atau pengajian, karena toh isinya caci maki, menjelek-jelekan pemerintah, dan malah maaf urusan syahwat kelamin lebih dominan. Jadi ini bukan soal agama, hanya soal perilaku yang dikemas oleh pelaku dengan label agama sebagai sarana pemantik minat audiens. Ingat bukan soal agama, dan tidak menggunakan istilah dakwah apalagi pengajian. Ini bukan ranah dua istilah itu. camkan, jadi tidak usah repet dan ribet dengan tudingan agama lagi.

Mabuk agama dan politik. Dua kondisi yang ditunggangi demi eksistensi diri. Menebarkan kebencian pada rival politik yang memang banyak mendapatkan tudingan. Demi mendapatkan panggung pribadi, dengan menempel pada pihak yang sejalan. Ini bukan soal ideologis, soal perut dan ketenaran kog. Momentum diperoleh karena yang lebih gede sedang cuti.

Mengapa tidak pada barisan Jokowi? Jelas tidak akan laku dengan perilaku seperti itu. demikian banyak irisan kepentingan yang lebih bermakna sehingga pasti akan tereliminasi. Pada posisi bersebrangan ada banyak panggung yang sama pilihan dan caranya, toh masih laku karena memang lahan yang subur dan fanatis sempit.

Susah membayangkan jika itu  menggunakan pasal UU ITE atau penghinaan agama atau simbol negara akan seperti apa jadinya. Akan lebih mengerikan. Mengapa  begitu ribet? Karena sejak awal dikaitkan dengan agama dan politik. Kelindan dua hal yang sejatinya baik-baik saja namun menjadi masalah kala dimanfaatkan banyak orang mabuk demi  keamanan diri.

Miris ketika selaalu bicara agama, namun mengaku salah saja sulitnya  minta ampun. Konsep kebenaran macam apalagi, jika hakim negara sudah tidak diikuti? Kebenaran asal dan pokoke kelopoknya. Ini jelas konsekuensi demokrasi yang dipahami orang yang sejatinya enggan berdemokrasi. Ia dan kelompoknya pasti tahu lah kekerasan itu salah. Mana ada agama menggajarkan itu. Toh Komnas HAM juga diam seribu bahasa.  Aneh dan lucu, ketika gembong narkoba ditembak teriak, ada anak ditaboki diam saja.

Sikap tanggung jawab juga sebenarnya bagian dari iman dan beragama. Lha ketika orang yang bangga dan merasa agamis, namun mengelak dari tanggung jawab, apa ya pantas disebut tokoh agama dan menglaim kebenaran? Miris dan memilukan sebenarnya.

Membenarkan perilaku dengan dalih-dalih agamis, malah menyalahkan pihak lain hanya perilaku kanak-kanak. Padahal pada sisi lain mengaku tokoh. Tokoh model apa, jika bertanggung jawab atas perilaku saja tidak bisa. Ini sama dengan anak kalah main bola, lari pulang dengan membawa bolanya balik dan mengatakan temannya curang.

Sayang negara ini penuh dengan narasi orang-orang demikian yang berseliweran di media, bahkan media arus utama. Mau tidak mau jadi terpapar dan akhirnya berkomentar, kadang malah mengulik lebih jauh, dan akhirnya sangat berdampak dalam psikologis. Hal yang jauh lebih penting kalah oleh model-model demikian.

Tidak hanya satu, ada pula Said Didu atau tokoh lain yang mongkar-mangkir diperiksa polisi. Pekerjaan banyak terganggu keberadaan orang caper seperti ini. Mau oposan silakan wong oplosan juga boleh, asal tidak perlu mencemari ruang publik dengan dengungakn yang tidak berguna seperti itu.

Bertanggung jawab, tahu salah dan memperbaiki diri, itu namanya kualitas, bukan malah mencari-cari pembenar demi kepuasan diri. Menyesatkan banyak orang demi kepentingan sendiri. Egois, kekanak-kanakan, tapi sok gede.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun