Mabuk agama dan politik. Dua kondisi yang ditunggangi demi eksistensi diri. Menebarkan kebencian pada rival politik yang memang banyak mendapatkan tudingan. Demi mendapatkan panggung pribadi, dengan menempel pada pihak yang sejalan. Ini bukan soal ideologis, soal perut dan ketenaran kog. Momentum diperoleh karena yang lebih gede sedang cuti.
Mengapa tidak pada barisan Jokowi? Jelas tidak akan laku dengan perilaku seperti itu. demikian banyak irisan kepentingan yang lebih bermakna sehingga pasti akan tereliminasi. Pada posisi bersebrangan ada banyak panggung yang sama pilihan dan caranya, toh masih laku karena memang lahan yang subur dan fanatis sempit.
Susah membayangkan jika itu  menggunakan pasal UU ITE atau penghinaan agama atau simbol negara akan seperti apa jadinya. Akan lebih mengerikan. Mengapa  begitu ribet? Karena sejak awal dikaitkan dengan agama dan politik. Kelindan dua hal yang sejatinya baik-baik saja namun menjadi masalah kala dimanfaatkan banyak orang mabuk demi  keamanan diri.
Miris ketika selaalu bicara agama, namun mengaku salah saja sulitnya  minta ampun. Konsep kebenaran macam apalagi, jika hakim negara sudah tidak diikuti? Kebenaran asal dan pokoke kelopoknya. Ini jelas konsekuensi demokrasi yang dipahami orang yang sejatinya enggan berdemokrasi. Ia dan kelompoknya pasti tahu lah kekerasan itu salah. Mana ada agama menggajarkan itu. Toh Komnas HAM juga diam seribu bahasa.  Aneh dan lucu, ketika gembong narkoba ditembak teriak, ada anak ditaboki diam saja.
Sikap tanggung jawab juga sebenarnya bagian dari iman dan beragama. Lha ketika orang yang bangga dan merasa agamis, namun mengelak dari tanggung jawab, apa ya pantas disebut tokoh agama dan menglaim kebenaran? Miris dan memilukan sebenarnya.
Membenarkan perilaku dengan dalih-dalih agamis, malah menyalahkan pihak lain hanya perilaku kanak-kanak. Padahal pada sisi lain mengaku tokoh. Tokoh model apa, jika bertanggung jawab atas perilaku saja tidak bisa. Ini sama dengan anak kalah main bola, lari pulang dengan membawa bolanya balik dan mengatakan temannya curang.
Sayang negara ini penuh dengan narasi orang-orang demikian yang berseliweran di media, bahkan media arus utama. Mau tidak mau jadi terpapar dan akhirnya berkomentar, kadang malah mengulik lebih jauh, dan akhirnya sangat berdampak dalam psikologis. Hal yang jauh lebih penting kalah oleh model-model demikian.
Tidak hanya satu, ada pula Said Didu atau tokoh lain yang mongkar-mangkir diperiksa polisi. Pekerjaan banyak terganggu keberadaan orang caper seperti ini. Mau oposan silakan wong oplosan juga boleh, asal tidak perlu mencemari ruang publik dengan dengungakn yang tidak berguna seperti itu.
Bertanggung jawab, tahu salah dan memperbaiki diri, itu namanya kualitas, bukan malah mencari-cari pembenar demi kepuasan diri. Menyesatkan banyak orang demi kepentingan sendiri. Egois, kekanak-kanakan, tapi sok gede.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H