Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Manula dan Doanya

13 Mei 2020   12:08 Diperbarui: 13 Mei 2020   12:10 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada beberapa hal yang cukup menarik di dalam menyikapi perawatan kepada manula. Ada dua kisah yang terjadi, dengan  sisi yang bertolak belakang. Perlu jernih mendengar dan paling pas itu mengalami. Jika tidak susah mengerti sampai keluar pernyataan demikian. Identik dengan mendoakan orang sakit.

Kisah pertama. Seorang tetangga menceritakan, bagaimana keluarga ipar-iparnya itu mengeluh ketika ada pemuka agama mendoakan agar sang ibu sehat dan panjang umur. Ungkapan yang biasanya normatif itu ternyata dinilai berbeda dengan anak dan menantu yang tidak pernah merawat.

Tetangga ini, meskipun menanti tidak berkeberatan merawat mertua, sama dengan ibunya sendiri, dan gawe tuwa-tuwa. Ada orang yang lebih tua itu seolah menenteramkan. Pernyataan ipar dan saudaranya yang malah seolah keberatan ada doa agar panjang umur. Kondisi si Ibu biasa saja, normal bisa mandiri semua masih sendiri.

Entah motivasi apa yang membuat mereka "enggan" jika Ibu atau mertuanya usianya panjang. Itu terjadi dan sangat mungkin banyak yang merasakan.

Kisah kedua, ini berkebalikan. Teman sekolah merawat bapaknya yang manula, kisaran awal 80-an sih. Pribadi yang emosioanalan. Rekan saya memperkirakan si bapak mengunakan jimat-jimat. Berusaha mencari orang tua untuk membuang bekal yang sering diyakini sebagai membawa hambatan untuk meninggal.

Kakak-kakak dari teman ini menuduh adiknya tidak mau merawat si bapak. Sama sekali tidak demikian. Ada lompatan  logika sebenarnya. Ini pun logika yang  terjadi.  Teman itu maunya bapaknya lebih baik di dalam hidupnya, tidak sakit-sakitan, jika memang sudah saatnya meninggal ya meninggal dengan semestinya. Persepsi yang berbeda.

Kedua kisah di atas bertolak belakang secara prinsip tetapi ujung-ujungnya adalah sama. Bagaimana menyikapi orang tua. Alasan yang "menghendaki" orang tuanya tidak didoakan panjang umur tidak perlu menjadi pertimbangan untuk dilihat, biarlah itu adalah pilihan mereka. Soal pantas atau tidak semata.

Sahabat saya dulu sering sakit, ketika didoakan lekas sembuh dia protes tidak mau, dan lebih senang dikatakan lekas baikan dan ditanya sudah lebih baik, dari pada sudah sembuh atau lekas sembuh. Ini soal selera dan menghayati sakit.

Pengalaman-pengalaman ini membawa saya pada beberapa hal;

Pertama, jika ada yang sakit, cenderung mendoakan lekas baikan. Alasannya, sembuh pun kondisi lebih baik. Lebih umum, netral, dan sangat mungkin memberikan motivasi. Kesembuhan juga kondisi lebih baik, bukan keadaan sakit yang bisa lebih buruk jika ada kata-kata yang tidak semestinya.

Kedua, sering tidak segera bereaksi ketika ada orang mengatakan orang tua si anu sedang sakit, mengapa? Ada dua kemungkinan, bagaimana anak-anaknya berharap atas kondisi orang tua mereka, seperti pengalaman di atas itu. Ternyata pilihan meninggal "lebih membuat mereka lega," kalau didioakan lekas sembuh, berarti malah mengecewakan keluarga.

Ketiga, jika memang memohonnya agar sembuh jelas kita doakan agar memiliki kekuatan batin untuk hal apapun yang terjadi. Jelas mohon doa agar sembuh dinyatakan. Sikap menghadapi sakit itu beragam dan kita tidak akan bisa memaksakan yang terbaik itu yang mana.

Keempat, ada yang biasanya meminta untuk didoain yang terbaik. Mereka memiliki harapan untuk sembuh, tetapi jika meninggal mereka telah ikhlas. Sejatinya menuju ke sana. Tidak membatasi kehendak Tuhan dan siap dengan segala keadaan. Jawaban demikian akan lebih mudah dan cepat respons karena realistis dan juga nyaman apapun juga.

Kelima, kita tidak tahu yang terbaik bagi si pasien, jika itu sedang sakit, atau manula, dengan segala kondisinya. Jika cepat-cepat mengatakan dan mendoakan, dan itu tidak sebagaimana yang dikehendaki jadi tidak enak. Ada orang tua yang sudah lelah atau merasa capek di dalam hidupnya. Atau sudah merasa puas. Wajar jika mereka malah kecewa di doakan panjang umur.

Benar, bahwa orang harus mengatakan, berdoa yang baik-baik. Lha memang mati itu buruk? Tidak juga, namun perlu mengingat kepantasan da kepatutan. Merawat orang tua itu lelah bukan hanya fisik, tapi kantong dan juga pikiran lho. Pun dengan menghadapi sakit. 

Nah dengan lebih jernih menyatakan  doa, harapan, dan penghiburan itu menjadi penting. Mmbantu secara psikologi bahwa yang akan terjadi itu yang terbaik. Mereka biar menyimpulkan harapannya, bukan kita memaksakan yang terbaik bagi mereka. Sama juga orang maunya minim malah diberi makan,  karena sudah lama tidak makan.

Pilih juga kata-kata yang bisa terkesan hanya basa-basi. Kasihan, mereka butuh suport, ketika menjawab hanya basa-basi menambah mereka makin berat. Sebisa mungkin nyatakan kata-kata yang tulus dan bermanfaat untuk membesarkan mereka.

Menghakimi, hindari penghakiman dan menyalahkan sikap mereka. Pilihan mereka itu bukan karena salah atau enggan berbuat, namun merasa sudah tidak lagi tahan dengan apa yang hanya mereka ketahui dan rasakan. Kita tidak tahu karena yang mengalami memang bukan kita.

Kondisi tiap orang berbeda-beda, sikap sebagai reaksi tentu juga lain. Nah ketika kita hanya berpaku pada satu sisi, bisa memberatkan teman yang sedang memohon doa atau malah curhat itu.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun