Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Jadilah Diri Sendiri di Kompasiana

11 Mei 2020   17:29 Diperbarui: 11 Mei 2020   17:29 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jadilah Diri Sendiri di Kompasiana

Dalam sebuah komentar ada yang menanyakan tips untuk bisa AU atau HL, lah mau memberikan tips apanya, kalau tulisan level sampah kog. Beda kasta, tulisan saya semata hiburan yang bersama-sama senang, bukan level tinggi. Kata Mas Jati yang mendapatkan julukan KoH itu, kalau belum biru akun saja sudah dibredel dulu-dulu. Mungkin saja.

Jadilah diri sendiri. Mengapa demikian? Ada beberapa hal yang layak dilihat lebih mendalam lagi;

Berkaitan kemarin-kemarin yang merasa terintimidasi, takut, dan menjadi jerih, karena sudah takut dan minder melihat tulisan panjang dan berkelas ala Profesor Felix Tani. Mengaku Tani tapi yakin mencangkul saja langsung kambuh encoknya. Lha kalau model melihat tulisan bukan belajar yo malah takut.

Bangun karakter diri. Mau keren dan menghibur seperti para pujangga fiksi yang baca, kenali, da jikuti apa yang ada di sana. Ini namanya membangun, bukan malah ciut nyalinya. Semua memiliki karakter, jalan, dan muaranya masing-masing.

Setiap orang, pribadi, dan penulis akan memiliki kekhasan, cara, dan alur pikir yang dituangkan masing-masing. Tidak akan pernah bisa meniru meskipun dilatih, diajar, dan dimentori oleh pujangga, atau penulis opini kaliber Kompas.com sekalipun. Mengapa? Ya karena orang memiliki latar belakang, kemampuan, dan olah seni dan pemilihan kata yang berbeda. Tidak akan bisa memaksakan diri menjadi sama dengan idolanya misalnya.

Nah masukan, untuk mengurangi rasa takut, minder, atau ngeper, atau ciut nyali, jangan mendekat pada yang berseberangan, jika main opini. Fiksi relatif aman, tidak banyak perbedaan pendapat dan afiliasi yang berujung pada debat yang kadang membuat takut  yang membaca. Sekarang sih tidak ada kutub yang seekstrem seperti pilpres dan pilkada DKI.

Dengarkan masukan, kritik, dan kadang makian jika memang benar. Ubah, tetapi jika benar, sudah dibuat yang terbaik. Mengapa perlu takut atau mau berubah haluan demi memuaskan kata orang. Tidak akan pernah bisa menyenangkan semua pihak. Sampai lebaran kuda yang akan ada pro dan kontra. Lah level nabi saja ada pembencinya, apalagi manusia.

Masukan yang tidak relevan, hanya mencari-cari kesalahan, abaikan. Jika berani jawab, namun tidak perlu emosional. Mau emosi, tutup dulu lapak, dan pindah aktivitas, sudah tenang buka dan jawab. Itu sangat membantu sehingga tidak terjadi perkelahian yang tidak bermutu.

Perbedaan itu bukan kesalahan. Hanya orang dongok saja yang menjadikan perbedaan sebagai sebuah permasalahan apalagi menjadi ajang perdebatan. Lha apa ada yang lahir dari pak dan pak atau mak dengan mak? Gak ada kah? Lahir pasti dari pak dan mak kolaborasi. Indahnya di sini, pelangi hanya satu warna yo bosan. Tidak jadi pelangi.

Komentar lain mengatakan, jika dulu ketakutan tidak akan pernah menghasilkan ribuan tulisan. Jelas, sepakat, dan akur. Mau nulis pasti ya berani dulu. Ada yang bisa menulis fiksi dengan anggun mendayu-dayu, atau oponie dengan lugas, cerdas, atau ada yang lugu dan wagu, ya biar saja. Itu sebagai referensi, aku tidak akan seperti itu, malu, aku tidak bisa seperti yang ini karena beda kemampuan. Nah ini justru penting.

Tahu diri. Lha kalau kapasitasnya masih level sekolah dasar mosok mau menyelesaikan strata dua kan tidak mungkin. Dengan demikian bisa menakar diri menulis seperti apa. Hal ini bukan kemudian menjadikan diri berkecil hati, tapi jalani sesuai dengan kapasitas diri. Pilihan demikian akan membuat tulisan menjadi enak, bukan bosan dan biasa-biasa saja.

Mencapai tulisan yang berkarakter khas, tanpa melihat penulisnya sudah tahu itu perlu jam terbang. Akun-akun lama mengenai penulis lain yang menggunakan akun lain karena kesamaan dalam tulisannya. Gaya khas yang tidak akan bisa dihilangkan sama sekali. Bisa membolak balikan kata dan kalimat, tetapi gaya menulis tidak akan pernah.

Mengidolakan penulis atau Kner lain boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai itu malah membuat tidak berkembang. Lucu dan aneh, kalau orang suka menulis kog memirip-miripkan penulis lain meskipun itu idolanya. Memang akan terbawa dalam tulisan seperti apa si idola. Tidak salah dan sah-sah saja, namun jika gagal bisa frustasi.

Realistis. Tidak usah muluk-muluk dengan target, benar bahwa itu membantu. Misalnya bulan ke sepuluh sudah harus sekian tulisan, itu mungkin. Kalau harus HL atau hlt sekian, bisa frustasi. Ini meruntuhkan semangat. Atau target pembaca, susah. Itu melibatkan faktor luar yang tidak bisa kita kendalikan.

Semua penulis dan tulisan memiliki dinamikanya masing-masing. Tidak perlu membandingkan diri dengan rekan, jika demikian, bisa tidak jadi menulis. Tekun, setia, dan tidak kenal menyerah, itu penting.

Jadilah diri sendiri, bukan kata orang. Membekali diri dengan penuh keyakinan dan memberikan yang terbaik, bukan asal-asalan.

Terima kasih dan salam

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun