AHY Sudahlah...
Beberapa hari ini pro dan kontra soal tugas sekolah anak petinggi partai masih hangat. Cenderung memanas dengan bumbu-bumbu dan ketidakmautahuan dengan sebab akibat. Beberapa pihak melantur logikanya, ada pula yang memang tidak mau taat berpikir lurus untuk tahu siapa yang membuat masalah. Miris sebenarnya di tengah pandemi seperti ini, energi sebagian pihak malah hanya untuk urusan tidak urgen.
Begitu banyak ulasan mengapa atau benar tidak ini tugas anak sekolah dasar. Apakah ini politisasi anak atau isinya kehendak si bapak. Ada pula argumen mengapa kudu ditampilkan pada media sosial. Pihak lain mengatakan klaimnya anak kelas enam bahasa Inggrisnya mengalahkan gurunya kalau seperti itu. Itu semua sudah dan pasti sedang terulas. Silakan saja.
Ada yang lebih menggelitik, ketika melihat hal yang makin meliar saat ini, apalagi katanya ada pelaporan kepada salah satu pegiat media sosial. Alasannya melakukan pembullyan pada anak-anak. layak dilihat lebih dalam beberap hal;
Siapa pertama kali yang membawa hal ranah privat ini ke publik? Jika itu tugas ya laporkan kepada guru, bukan pada media sosial. Ketika direspon media sosial kog sewot? Â Artinya tidak salah sih, hanya tidak bijak saja. Ini soal media sosial yang kebetulan orang politik.
Lebih lucu, ketika mengaitkan itu dengan Jokowi. Ada dua peristiwa yang ada kaitan dengan Jokowi. Pertama mengenai tugas si puteri yang katanya harus disampaikan kepada presiden dan jajarannya. Sudah banyak yang mengupas itu. Apakah sudah ada perjanjian antara sekolah dan protokol istana. Terserah saja.
Kaitan kedua, jauh lebih naif, ketika ibunya mengatakan dan melaporkan Denny Siregar kepada Jokowi. Lucu lagi alasannya adalah pendukungnya. Apa kaitan dukungan, presiden, dan kejadian slip tugas ini?
Eh malah kemudian berduyun-duyun dayang-dayang Demokrat mendukung apa yang terjadi dengan menyerang ke sana ke mari. Ada yang aneh, lucu, dan lebay ketika wasekjend Demokrat membandingankan bahasa Inggris si puteri dengan Jokowi. Ini masalah yang serius, jika Demokrat mau menegakan hukum, kembali ke dalam dulu. Mengapa?
Jika mau benar, benahi dulu internal Demokrat. Ini serius, meledek kepala negara, demi membenarkan perilaku ketua umum dan  istri, yang  telah tidak bijak bersikap dalam memainkan narsai politik. Apa kaitan bahasa Inggris Jokowi dengan tugas sekolah si puteri?
Tidak akan menjadi soal jika bandingkan bahasa Inggris Jokowi dengan SBY. Jelas perbandingan yang sama. Atau pembangunan era SBY dengan Jokowi. Jangan mengatakan ini meledek, ini mau mengatakan itu sebanding.
Lha sepinter-pinternya anak perwira dan cucu presiden tetap lah pinter presiden. Coba bandingkan dengan bahasa Inggris mendiang Pak Harto. Apa yang dinyatakan Jasen Sitindaon sudah terlalu jauh. Tidak ada kaitan sama sekali dengan Jokowi dan kemampuan presiden dalam berbahasa Inggris. Dengan demikian siapa yang memainkan politik? Denny Siregar atau malah mereka?
Ini ranah private bukan ranah parpol. Yang disoroti itu AHY sebagai bapak yang mungkin abai, bukan Demokrat atau ketum Demokrat, lha kebetulan kog ketum parpol. Tidak salah sebenarnya ketika pengurus partai ramai-ramai memberikan dukungan, tetapi menjadi lebay dan aneh saat lebih dominan politis dari pada keadaan yang awalnya.
Membaca Arah Masa Depan Demokrat
Susah melihat mereka bisa kembali menggeliat dengan model membuat citra partai model demikian. berkali-kali saya tuliskan dengan membenturkan diri pada Jokowi itu bukan pilihan cerdas dan bagus. Konteksnya salah. Tidak ada kesalahan fatal yang bisa menjadi pintu masuk menyerang secara frontal kepada pemerintah.
Hal-hal yang sangat lemah dan cenderung bisa menjadi sasaran tembak namun mereka tidak berani karena akan memercik muka sendiri. Korupsi, bagaimana semua juga paham, kalau mereka berani mengtuk pemerintahan soal korupsi muka mereka sendiri yang terlumuri kotoran. Keadaan yang sangat memalukan, karena banyak mantan elit partai mereka masih ada di dalam  penjara dengan kasus korupsi.
Kabinet gak karuan kinerjanya, seperti diteriakan banyak pihak. Lagi-lagi lebih parah karena kabinet era Demokrat antrimasuk penjara. Susah membersihkan diri soal korupsi dan kabinet.
Intoleransi. Sama juga, bahkan akar ugal-ugalan inteloransi juga ada pada masa pemerintahan mereka. Mereka pasti berhitung soal ini. Artinya mereka juga paham kalau ini bisa menjadi bumerang. Toh selama ini mereka juga berasyikmasyuk dengan pelaku intoleran.
Soal lock down sejak awal jelas seperti apa narasi pemerintah, bagaimana reaksi dan aksi oposan. Jelas dengan gamblang bahwa yang dinyatakan AHY dalam tugas puterinya ini cenderung lebih politis dari sekadar tugas. Ketika ada tanggapan, mengapa langsung menyasar Jokowi?
Aneh saja, AHY ini hanya dengan Sandiaga Uno saja dipecundangi dua kali, langsung dalam pilkada, tidak langsung dalam pemilihan cawapres di internal koalisi mereka. Artinya, kejauhan jika mau menyasar Jokowi.
Pelaporan kepada kepolisian terhadap Denny Siregar ini bisa menjadi blunder yang parah. Bagaimana tidak, belum juga dalam hitungan tahun, SBY baru saja meledek Jokowi dengan mengatakan tidak pernah  memidanakan rakyat sendiri. Lagi-lagi memang netizen julid, dibongkarlah bahwa beberapa kali SBY sendiri membuat pelaporan. Padahal Jokowi sekalipun tidak pernah datang ke polisi.
Sangat mungkin yang dilakukan anak buahnya juga akan dilaporkan oleh pihak-pihak yang tidak terima. Ini bisa membuat makin kalang kabut bagi Demokrat. Kapan membangun jati diri dan ideologi partai kalau hanya ribut pada kasus-kasus yang tidak jelas dan mendasar.
Pola lama, menjual derita, plitik korban. Tidak perlu lagi diulang-ulang. Kebetulan SBY dulu menang dengan cara itu, tapi beda kondisi, beda konteks, dan lain keadaannya. Bangunlah citra  kinerja, prestasi, bukan sensasi.
Calon-calon presiden dan wapres kali ini berjibaku dengan keadaan konret. Ada Anies dengan bergetar, ada Ganjar dengan kunjungan ke mana-mana yang viral, ada Ridwan Kamil dengan aksi-aksinya. Mereka semua bergerak dan itu ada nilai politiknya. Lha kalau AHY hanya ribut soal tugas anak, dengan pelaku media sosial, kapan dapat point gede.
Benar, mungkin tenar, menjadi pembicaraan, ingat pemilu 2019 kemarin, seperti apa  suara Prabowo di dunia maya? Riuh rendah namun maya, dan bahkan palsu. Mosok iya, namanya saja keren Demokrat, muda pula usia, tapi pola dan cara berpolitik jadul.
Pembenahan ke dalam, membangun narasi dengan kinerja yang baik, bukan waton sulaya dalam menghadapi segala persoalan. Mana kritiknya coba jika seperti ini?
Beragam pilihan untuk membangun citra partai. Lihat PSI mendapatkan panggung cukup baik di DKI. Bisa membawa oposan bersisian dalam kasus anggaran formula-e. Sepi tapi nyata, dari pada hiruk pikuk semu dan bodong pada akhirnya.
Hati-hati cara berpolitik kader dan pengurus Demokrat, sangat mungkin bisa masuk pada jerat hukum karena sudah kebak sundukane. Seolah bukan pelaku politik tingkat nasional. Kehilangan Ruhut Demokrat menjadi kecut memang.
Susah melihat Demokrat kembali moncer, apalagi pelaporan Denny Siregar ini. Kalah menang tetap menjadi bulan-bulannan media sosial. Bijak bagi AHY menghentikan polemik dan konsentrasi yang lebih baik lagi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H