Mendadak Menolak Balapan demi Makan
Jakarta kembali menggeliat dengan narasi formula- Â e. Balapan yang katanya prestisius, wong dengar juga usai gubernur Jakarta mau mengadakan. Gonjang-ganjing anggaran yang luar biasa, di tengah pandemi ini kembali diungkit. PSI awalnya yang mendesak untuk meminta kembali "panjar' Â atau commitment fee yang berjumlah lebih dari setengah T itu.
PSI yang sejak akhir tahun lalu ngotot untuk membatalkan acara ini, sampai Gerindra berkomentar kalau tidak ribet bukan PSI, kali ini ikut mendukung. Kekuatan makin bertambah. Yang dulu getol mendukung pun mulai bergeser arahnya. Golkar mendesak dengan alasan rakyat butuh makan bukan balapan. Lumayan jika demikian. Makin jelas lebih berat karena dukungan demi dukungan diperoleh PSI yang kerja sendirian dalam banyak isu dan kasus.
Anggaran yang sangat besar, lha nyatanya demi memenuhi kebutuhan anggaran agar bisa menanggung risiko pandemi meminta kepada pusat. Menagih dengan tergesa-gesa uang perimbangan pusat daerah. Eh malah ketahuan kalau belum menyelesaikan kewajibannya terlebih dulu.
Golkar.
Sudah banyak anggaran kita, baca dewan yang dialihkan untuk membeli beras bagi rakyat. Uang itu perlu ditarik sehingga bisa memenuhi kebutuhan dan anggaran pemerintah di dalam menghadapi pandemi. Ada yang bagus untuk dicermati, kata anggaran kami. Garis tebal, garis bawah, dan miring. Mengapa mereka mendukung PSI, ya karena anggaran "mereka", Â pos untuk dewan banyak dipangkas.
Sesuai dengan arahan pemerintah pusat kan kunjungan kerja, perjalanan dinas, dan sejenisnya dialihkan untuk dana tanggap darurat. Nah padahal di sinilah mereka biasa berpesta. Artinya, jangan percaya demi makan rakyat mereka berjuang ini. Karena  kepentingan mereka terusik. Aneh dan lucu saja, ke mana Golkar ketika pembicaraan penggelembungan anggaran, ketika acak adutnya uang RAPBD disusun?
Gerindra.
Mereka setuju secara prinsip setuju usulan PSI. Ingat pada akhir tahun lalu suara mereka berbeda jauh dengan kini. Mereka memang setuju, namun tidak main emosional, mengedepankan sisi rasionalitas. Pembicaraan profesional karena memang lembaga resmi. Uang 360 M dan kemudian 200 M cukup besar bagi daerah untuk keadaan seperti ini.
Mekanisme mengembalikan menjadi dana APBD itu memang penting, namun pastinya sangat tidak sederhana. Melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Â Realistis dan membertontonkan bagaimana politik itu bersikap.
PSI
Ini memang oposan dari oposan pemerintahan DKI. Paling getol menyuarakan ketidakberesan yang ada. Sayang memang mereka kurang mendapatkan sokongan baik teknis ataupun politis. Yang ada mereka bisa menjadi "tumbal" politik. Berkali ulang demikian. Toh  masih cukup eksis dan yang dikritisi juga masih sama saja ngaconya.
PKS
Secara normatif sih mengatakan bahwa itu hal yang wajar. Â Berbicara sangat normatif, prosedural, dan hal tetek bengek mengenai susahnya uang dan pembicaraan yang harus dilakukan. Wajar sih, PKS hanya memiliki kebanggaan pada gubernur satu ini.
Padahal separo terpedaya juga, ketika mereka hanya penggembira, tim hore semata bagi pemerintahan DKI kali ini. Toh mereka lebih getol mendukung Anies dalam banyak kisah politik.
Lebih menarik justru disampaikan oleh PDI-P, identik dengan PKS, di mana salah satu anggota dewan mereka juga berbicara pada tataran normatif dan legalis yang begitu-begitu saja. Aneh karena mereka ini sejatinya adalah "oposan" bisa lebih galak dan garang menghadapi Anies dengan segala ugal-ugalannya. Aneh dan tampilan lucu, bandingkan ketika menghadapi Ahok lalu.
Partai lain, level gurem seperti PPP, PAN, apalagi Demokrat sih mana mikir apa yang terjadi di daerah dan rakyat. Yang penting mereka aman dan nyaman. Mau apa yang terjadi, pokoknya gaji lancar. Mana duli dengan keadaan yang ada.
Nah layak dilihat dengan peta politik ini, mengapa bisa seperti ini. Pantas saja Anies Baswedang jauh lebih pendiam, tidak banyak konpres, tuding sana tuding sini. Biasanya pelaporan mendahului pusat, dengan data yang berbeda. Menarasikan kegentingan, kekhawatiran, sampai bergetar dua kali. Nah tiba-tiba menjadi pendiam dan lenyap dari pemberitaan.
Peta politik jauh bergeser. Gerindra sudah menyatakan sikap dengan gamblang dan terbuka. Usai jabatan wakil gubernur untuk mereka dalam diri Riza Patria, artinya Anies bukan bagian utuh dari partai ini. Masih menjaga jarak aman. Berbeda jika Anies adalah kader, milik mereka, akan melepas wakil untuk PKS. Toh tidak demikian.
Pernyataan lugas dan terbukan Prabowo atas Jokowi, menambah gamblang ke mana Gerindra melangkah ke depan. Jarak makin lebar dengan Anies yang makin ugal-ugalan dalam menyikapi pandemi ini.
Susul menyusul isu kekacauan data, pelaksanaan dan penanggungan covid di DKI yang tidak terintegrasi, dan puncaknya bansos salah sasaran dengan cukup masif. Semua makin membuat gubernur terdiam. Posisi tidak mudah ini jelas terbaca.
Lebih memilukan dewan pun menyatakan sikap dengan jelas dan lugas. Gerindra yang bak tom n jerry dengan PSI kini bisa seiring. Semua ini jelas bernuansa politis, bukan sebuah kebetulan. Signal nyata diberikan. Politikus tulen akan membaca terang seperti apa keadaannya.
Mendadak mikir makan dan bukan balapan. Menyatukan antara oposan dan bukan dalam satu barisan. Hal yang cukup aneh dan tidak wajar. Berbeda jika PDI-P dengan Gerindra, lha ini PSI dan Gerindra. Jika bisa demikian terus, bisa pula mengusut soal trotoar yang bongkar pasang dan itu uang semua lho.
Saatnya Jakarta kembali pada kewarasan, bukan malah merusak yang sudah ada. Mau siapapun pemimpinnya, asal perilakunya bisa dilihat dengan kaca mata normal, bukan malah kebalik sih silakan saja. Â Lha apa ya patut ketika pembangunan malah dijungkirbalikan. Yang penting tidak dilakukan, yang ada dirusak. Sudah baik dibongkar lagi, memperlihatkan perencanaan yang lemah.
Apakah ada terjadi perubahan yang signifikan? Semoga saja ada berkah di balik pandemi ini.
Terima kasih dan salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H