Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yudhoyono Generasi Ketiga pun Sudah Molitik dan Paradoksalnya

4 Mei 2020   10:20 Diperbarui: 4 Mei 2020   10:20 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yudhoyono Generasi Ketiga pun Sudah Mulai Molitik dan Paradoksalnya

Surat terbuka oleh Almira Yudhoyono, puteri sulung AHY kepada Presiden, sebagai tugas sekolah katanya, baik dan sah-sah saja. Toh sah pula jika ada yang melihat ini sebuah langkah politik dan mungkin polisasi tugas sekolah. Ingat namanya orang politik sangat terbuka potensi dan tafsir politik juga masuk di sana.

Bahasan bukan benar tidak ini tugas sekolah, biarlah itu ada yang membahas. Pokok ulasan artikel ini soal politik dan politisasi dari apa yang dilakukan Yudhoyono, mau Almira, AHY, atau SBY. Pelaku adalah orang-orang politik, jadi layak dilihat sebagai laku politis pula. Mau anak-anak atau simbah-simbah, sama saja.

Beberapa hal yang layak dicermati, apalagi narasi AHY yang menjadi pengantar surat tersebut dan menjadi penjelas apa di balik itu. Lekat aroma politis dari sekadar tugas anak SD lagi.

KPAI, yang biasanya ganas dan trengginas menyoroti perilaku anak-anak. ingat soal audisi Djarum untuk atlet cilik, atau Kakek Seto yang demikian gencar menyuarakan perlindungan anak. layak ditunggu seperti apa yang seharusnya disikapi. Tidak ada yang salah sebagai tugas, namun ketika sudah memainkan dan dipermainkan narasi politik? Jangan kaget nanti Almira menjadi bahan bullyan, dan ketika mereka baru bereaksi, mereka sudah salah langkah. Tekat dan menambah bukan menyelesaikan masalah.

Jika benar itu tugas sekolah, berlebihan jika harus menujukan kepada pemerintah atau Jokowi. Mengapa? Tugas negara sudah begitu berat, mosok harus juga menanggapi tugas anak SD. Benar itu tugas, dan kewajiban pemerintah pula, namun bagaimana jika seluruh guru, sekolah melakukan hal yang sama. Diknas perlu melihat ini sebagai sebuah perhatian. Mereka juga bagian dari penyelenggara negara, lakukan pembelaan, jangan hanya diam saja.

Mengenai lock down, tidak usah berpanjang lebar alasan politis, ekonomis, sosial, atau apapun itu. sudah lewat dan tidak lagi menjadi urgensi saat ini. Justru lebih   menarik adalah apa yang dilakukan oleh ayah dan kakek dari si pembuat surat. Mereka mengadakan kongres nasional lho, ketika pandemi sudah mulai menyerang.

Jelas lebih penting menerangkan ini oleh AHY kepada puterinya, dari pada bernarasi "memaksa' negara untuk mengambil keputusan ugal-ugalan. Jelas saya bukan menyalahkan si murid, namun pendamping yang jelas sangat tidak bijaksana.

Ingat, ada kader Demokrat yang positif di sana. Jangan sok lupa dan kemudian menimpakan pada pemerintah tanggung jawabnya. Atau malah memaksakan kondisi dan penanganannya dengan lock down, karena usai kepentingannya? Jelas ini model perilaku kanak-kanak.

Entah apa yang akan dilakukan pihak kubu sebarisan Demokrat, jika itu yang membuat surat Jan Ethes. Pasti tidak akan mau tahu soal surat atau tugas. Pengecaman eksploitasi anak, menggunakan cucu atau anak untuk berpolitik, dan seterusnya.

Ingat fokus ini bukan pada Amira, namun perilaku AHY dan Demokrat. Karena yang memviralkan justru AHY, bukan si anak, atau sekolah, atau siapapun. Ungkapan, kata, pilihan itu politis Demokrat dan AHY. Padahal bisa menjelaskan, bagaimana mereka di dalam rumah selama belajar dari rumah, bagaimana mereka bersyukur memiliki akses internet, ada laptop yang menunjang studinya. Padahal masih banyak anak yang tidak seberuntung dia. Ini jelas lebih manusiawi, khas anak kelas enam SD, bukan pemikiran bapak atau kakeknya diterapkan pada anak-anak.

Pemaksaan dengan bahasa tugas meminta khas oposan, Demokrat, Anies, JK, dan kelompok itu lagi-itu lagi. Sudah terlambat, masa pandemi sudah menuju kurva menurun. Pilihan pemerintah sudah tepat dengan banyaknya sentimen positif dunia, terutama segi keuangan dan investasi. Mosok mau mundur lagi.

Generasi ketiga Yudhoyono sudah tampil. Namun jangan kaget, ketika reaksi negatif atas kekesalan kepada si eyang dan bapaknya tanpa au tahu nanti diterima Amira. Susah membayangkan bagaimana tantrumnya Pak Beye, ketika ia yang sudah matang, jenderal lagi saja sering baper. Kali ini sangat terbuka kemungkinan sang cucu yang akan terdampak bahkan secara langsung.

AHY mungkin masih perlu banyak belajar, ingat ini tidak salah, namun keliru menampilkan diri. Yakin bahwa ia mau mempertontonkan kualitas anak dan dirinya sebagai bapak, bukan sebagai politikus. Namun lagi-lagi ini dunia maya, netijen Indonesia dengan segala kemahabenarannya. Siap-siap saja.

Bagaimana khabar sang paman, Ibas ini? Mosok kesalip keponakannya yang masih kelas enam SD dalam berpolitik. Belum pernah lho terdengar suaranya sebagai seorang politikus, anggota dewan, dan juga pengurus partai yang pernah besar.

AHY tidak salah, sebagai bapak mau mempertontonkan upaya pendidikan puterinya. Sayang bahwa ia lupa sebagai ketua umum partai tidak akan lepas dari tafsir, persepsi, dan juga penilaian orang yang selalu politis.  Ini yang perlu dipersiapkan AHY jika menghadapi serangan yang tidak sebagaimana diharapkan.

Begitu beragam pilihan tema dan bahasan mengenai pandemi ini, anak-anak sangat mungkin kangen teman-teman, guru, atau sekolahnya. Betapa jenuh di rumah, bagaimana susahnya belajar tanpa kebersamaan dengan teman. Eh malah memilih lock down dan berbicara korban.

Toh, namanya orang politik, tidak akan melepaskan kesempatan sekecil apapun. Lha iya, kalau sukses, kalau nyungsep? Itu risiko. Tampaknya AHY tidak memikirkan ini, atau malah tidak tahu. Risiko yang belum terbaca, karena abai atau kurang pengalaman. Maunya sih menunjukan puterinya kritis, apa iya?

Demokrat tidak terbantu, malah makin dalam terperosok. Benar kisah ini akan viral, namun dalam konteks negatif, bukan kondisi yang menyenangkan dan mengharumkan. Sayang, salah langkah kog berkali ulang.

Usia mengatakan ekonomi bisa porak poranda, dan ternyata tidak terbukti. Mempertunjukkan visi dan cara melihat politik global masih terlalu hijau. Bukti demikian banyak bagaimana kondisi negara makin baik dan itu diakui dunia.

Beralih dengan mengatakan pemerintah lamban dan tidak mengayomi sehingga rakyat resah. Tidak cukup bukti juga. Eh diulangi dengan menggunakan anak dan tugas sekolah. Sayang sekali, politikus muda dengan gaya tua.

Prestasi itu akan dikenang dengan tinta emas, tidak perlu dipaksakan dan diupayakan dengan menggunakan segala cara. Semua ada masanya. Tataplah masa depan dengan cerah tidak terpaku masa lalu.

Capailah kemegahan tanpa harus  merendahkan dan menisbikan capaian pihak lain. Begitu banyak  ragam, cara, dan kesempatan untuk mendapatkan prestasi, pengakuan, dan hasil luar biasa. Dunia semakin modern, fasilitas lengkap, kesempatan terbuka lebar. Mau naik bisa menginjak orang lan, atau memilih naik tangga, atau menggunakan teknologi. Semua ada. Sayang jika kesempatan yang luas itu malah memakai paradigma lama terus menerus.

Generasi ketiga, masih terlalu dini saja sudah mulai dipaksakan. Padahal dunianya  masih sangat panjang. Demokrat menuju senja kala makin kelam?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun