Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Erick Thohir Bicara Mafia Kesehatan, IDI Membahas Kematian, Mengapa Bukan Kesembuhan?

20 April 2020   10:18 Diperbarui: 20 April 2020   10:20 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Erick Thohir Bicara Mafia Kesehatan, IDI Membahas Kematian, Mengapa Bukan Kesembuhan?

Beberapa hari ini, masih marak dan hangat pembicaraan soal mafia bidang kesehatan yang dinyatakan oleh Menteri BUMN. Import bahan obat yang mencapai 90%, tahun 1994-an dosen dari sebuah fakultas kedokteran juga mengatakan, bahkan lebih tinggi hingga 95%. Ya memang tinggi, ini toh soal hegomini dunia, terutama medis.

Soal obat, bukan menjadi ulasan artikel ini, karena berbeda konteks. Kita memiliki industri jamu, label jamu bukan obat pun kadang dipandang sebelah mata. Keberadaan jamu sepanjang hidup Nusantara, dan in tentu mengganggu keberadaan farmasi Barat. Penentu kebijakan dunia toh Barat dengan obat ala mereka.

Ini persoalan yang berbeda, dan konteksnya global, adakah kemampuan menghadapi persoalan ekonomi kelas dunia seperti itu? Tentu masih sangat panjang, butuh waktu dan keberanian, apalagi di tengah kondisi seperti ini. Benar saja bisa kacau, apalagi belum tentu kejelasannya. Heboh yang terjadi. Lebih bahaya lagi kalau salah, seperti apa responnya.

ET memang mendapatkan tugas yang amat berat. Membersihkan perusahaan plat merah yang sudah demikian berkerak dalam model bisnis ngawur-ngawuran. Gaya hidup petinggi dan pegawainya tinggi, mewah, dan kelas elit, namun perusahaannya lebih banyak merugi. Negara yang harus menanggung gaya hidup mereka ini. Sekian lamanya terus menerus. Seolah-olah biasa rugi toh negara mau juga memasok modal lagi.

Bersih-bersih ini memang sudah saatnya. Garuda pada awal jabatan sudah terkena tindakannya. Disusul Jiwasyara dan Asabri, kini mulai dunia kesehatan dimasuki pasukan kebersihan. Wajar kalau ada yang meradang, merasa tersinggung, karena sangat mungkin terganggu kenyamanan bisnisnya. Keberadaan zona nyaman yang sekian lama dinikmati dengan lepas bebas terusik.

Memang sudah seharusnya. BUMN itu berorientasi untuk memberikan pemasukan bagi negara. Namanya usaha, bukan malah meminta suntikan dana terus menerus. Apalagi badan usaha yang memang berorientasi pada kepentingan bisnis murni, seperti tambang. Berbeda jika memang harus memberikan subsidi bagi kehidupan dasar masyarakat. Hal yang  berbeda, sosial dan keuntungan.

IDI dan Budaya Kehidupan
Entah angin apa atau karena ada apa, tiba-tiba IDI mengatakan tidak percaya angka yang dirilis pemerintah mengenai kematian terdampak covid-19. Katanya jauh lebih besar dari itu semua. Sah-sah saja sebagai sebuah pendapat dan pernyataan negara demokrasi. Dasar yang dipakaipun tentunya sahih, bukan kapasitas saya untuk  mengupas alat dan cara mendapatkan kesimpulan.

Tentu bukan mempertanyakan soal alat ukur atau jumlah, namun bagaimana peran dan tugas mereka lebih tepatnya. Dokter, nakes, dan juga siapapun yang terlibat dalam bidang kesehatan memiliki sumpah untuk membantu mendapatkan kesembuhan dan kesehatan. Kematian tentu bukan sebuah tujuan, apalagi kesengajaan. Jika sengaja mengantar pada kematian itu adalah kriminal.

Permintaan pasien untuk euthanasia saja tidak ada hukum yang mengizinkan di Indonesia. Jika demi lebih beratnya pasien untuk hidup, itu atas persetujuan keluarga pasien. Nakes tidak memiliki hak atas nama pasien sama sekali. Berhak bahkan berkewajiban untuk memberikan informasi ketika mau menangani dengan potensi kematian.

Menyatakan bahwa angka kematian lebih besar, jika itu memang ada dasarnya baik-baik saja. Lha sekarang apa kepentingan yang mau dicapai dengan itu?

Pemerintah telah mengatakan silakan buka  semua data mengenai covid. Semua menjadi penting, tidak lagi ada yang bisa menarasikan kecurigaan. Jika kata-kata buka data semua saja masih dipertanyakan, malah aneh. Bagaimana mereka berdiri, ingat mereka itu petugas kesehatan, yang memiliki kewajiban menyembuhkan, mereka juga secara bebas memilih tugas dan profesi ini.

Pilihan pemerintah itu tidak sesederhana jika itu tenaga kesehatan. Secara medis penanganan ada SOP-nya, ada aturan dan hukum yang jelas. Sepanjang itu dilakukan dengan baik, benar, dan tertib, tidak akan ada implikasi hukum, ataupun yang lain. Bandingkan peran  pemerintah, ada ekonomi, sosial, bahkan politik yang sangat tidak mudah.

Ekonomi. Seluruh dunia sedang krisis. Ingat seluruh dunia. Artinya dampak buruk ekonomi itu bukan hanya dialami Indonesia, atau Jokowi dan pemerintah saja. Tetapi seluruh orang terdampak. Pemerintahlah yang berkewajiban menjaga ekonomi tetap bisa berjalan dengan segala keprihatinannya. Ini tidak mudah. Ketika politikus, dan juga tenaga kesehatan tidak mau tahu kesulitan yang ada.

Sosial, dokter tidak perlu bahkan tidak mau tahu seperti apa sikap masyarakat. Kaca mata  dan parameternya jelas, kesehatan. Tidak sesederhana itu pemerintah dan juga Jokowi menyikapi pandemi ini. Kesehatan menghendaki isolasi dan karantina, tidak akan tahu soal bagaimana mereka hidup, kedisiplinan dan pola serta model mudah paniknya penduduk bangsa ini.

Politik. Lha ini lebih bahaya dari pandemi itu sendiri. Semua kebijakan pemerintah kog dianggap salah. Unsur kesengajaan cukup tinggi kog. Lha narasi Jokowi mundur, jelas ini politik. Tidak masalah mau ngeyel dengan kedudukan, lha siapa yang mau mengganti dan juga buat apa pemilu jika pandemi malah menjadi suksesi.

Kritik atau masukan sih baik-baik dan harus, namun bagaimana dampak bagi masyarakat dan posisi pemerintah. Miris jika melihat hasil baik kadang malah dinihilkan oleh orang-orang yang juga tahu dengan persis keadaannya.

Budaya Harapan dan Kehidupan
Menyembuhkan itu tugas dan kewajiban dokter dan tenaga kesehatan. Betul soal sembuh dan hidup hak prerogatif Tuhan, melalui tangan nakeslah Tuhan hadir di dunia. kesembuhan mulai meningkat dan selisih dengan angka kematian semakin lebar. Ini adalah prestasi. Mereka ada di dalamnya. Sejarah mencatat, tenaga kesehatan Indonesia tahun 2020 sukses mengatasi pandemi covid dengan cepat dan baik.

Kematian itu juga bagian "kegagalan" mereka lho, jangan malah seolah tidak terlibat. Malah cenderung aneh, ketika memperbesar angka kematian tanpa merasa terlibat dan menafikan kesuksesan yang seharusnya mereka bisa berbangga atas capaian itu.

Melihat angka-angka di luar yang demikian mengerikan, dan di sini relatif masih baik sebenarnya adalah harapan, kecuali memang berkaitan dengan politisasi keadaan ini. Harapan dan sikap optimis juah lebih penting untuk didengung-dengungkan. Gaungan besar yang bisa membuat warga menjadi optimis dan daya tahan bertumbuh.

Ada kesalahan dqn keputusan yang keliru sangat mungkin, nah masukan, kritik itu baik dan harus. Tentu dengan pertimbangan dan jalan yang baik. Kerjasama untuk kebaikan jelas lebih baik. Sayang jika ada kerjasama ala semut membawa cuilan kue balik sarang. Ada yang malah sambil makan, ada yang di atas kuenya dan makan, namun ada pula yang mendorong dan menarik dengan sepenuh tenaga.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun