Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapkah Duet AHY-EBY Menggetarkan?

17 April 2020   19:23 Diperbarui: 17 April 2020   19:59 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa Duet AHY-EBY itu?

Di tengah pandemi covid, ada dua gelaran politis. PAN dan Demokrat. Satunya sunyi senyap, lainnya riuh rendah karena kelahi. Berkepanjangan PAN karena sesepuh dan deklaratornya seolah tidak rela melihat sang besan masih berkuasa. Upaya berkelanjutan masih akan ada lagi, apakah mau PAN reformasi atau Perjuangan atau lainnya.

Demokrat pun mengadakan kongres dan mengesahkan AHY sebagai ketua umum. Tidak ada hiruk pikuk pemberitaan yang masif dalam media. Sepi dari sorotan, apalagi di tengah keadaan genting covid. Malah lebih menguar salah satu pesertanya ternyata positif korona. Bupati Karawang yang ada di sana dinyatakan penderita positif.  Ini lebih banyak pembicaraannya.

Pun ketika covid belum mereda, pengurus baru Demokrat mengumumkan kabinetnya. Lagi-lagi sepi yang sama. Pemberitaan tidak cukup luas, apalagi dunia medsos. Keberadaan kakak beradik pun tidak menjadi bahan pembicaraan yang berlebihan. Sepi itu saja. Toh tidak cukup seksi keberadaan Demokrat kali ini. Mereka seolah hanya penggembira yang tidak perlu panggung dari media.

Pengurus ini secara umum generasi muda. Ini tim politik, bukan pemain sepak bola. Usai muda jika hijau alias ingusan untuk apa. Susah melihat  muda yang progresif dari tampilan tim ini. Apalagi abang adik ini lebih banyak karena proteksi bukan prestasi. Sama sekali belum ada inisiatif luar biasa bagi AHY pun EBY yang berkali-kali sudah ada di Senayan.

Cenderung muda pada tataran di atas kertas, toh akan SBY terus yang menjadi patron. Sama saja boong jika hanya tampilan. Susah melihat mereka bisa melaju sendiri. Ini bukan kesalahan anak-anak, namun pola pendidikan orang tua yang tidak mau membiarkan anak berkembang dan menjalani lakunya sendiri.

Andi Arief di bidang pemenangan. Memang ini juga relatif muda, angkatan 98 yang cukup kritis. Namun tidak sekeren Anas Urbaningrum, segarang Adrian, atau senyinyir Fadli Zon. Keberadaannya tidak memberikan cukup besar harapan. Ia hanya menang di dalam, ke luar masih  belum meyakinkan.

Tentu masih ingat, bagaimana permainan di kampanye pilpres kemarin. Dampak buruk yang diperoleh Demokrat sedikit banyak dari perilakunya. Dua isu yang ia usung jenderal kardus dan surat suara tujuh kontainer tercoblos, hanya isapan jempol. Mengapa demikian? Toh ia tidak berani datang mempertanggungjawabkan pernyataannya.

Prabowo terkena dampak yang cukup besar dengan pembunuhan karakter dengan istilah jenderal kardus.  Bulan- bulanan kubu rival dengan sematan oleh anggota tim koalisi sendiri. Pembuktian ataupun tidak, sama saja merusak citra rekan sendiri. Kecewa yang tidak terkelola dengan baik.

Surat suara tercoblos juga tidak berdasar ketika ia tidak mau datang untuk melengkapi berkas pemeriksaan. Jika benar kan tidak perlu berkepanjangan pemilu. Lagi-lagi  hanya  omongan yang hanya sekadar, tanpa dasar. Merugikan tim sendiri, karena lontarannya dinilai sebagai asal bunyi. Rugi termasuk Demokrat.

Kehilangan sosok-sosok hebat seperti Andi Malarangeng yang kena bui. Pun Anas Urbaningrum setali tiga uang, meskipun cenderung berbeda masalah. Mereka  muda dan memang politikus  karir. Matang dalam organisasi dan benar-benar jeli dalam bersikap secara politis. Soal uang dan kursi  memang tidak mudah. Kejatuhan mereka sama juga dengan suramnya Demokrat.

Ruhut yang menglaim diri sebagai anjing penjaga Demokrat memang efektif. Ia siap pasang badan untuk SBY dan Demokrat. Orang model ini diperlukan menghadapi politik Indonesia. Keluarnya Ruhut itu kerugian sangat besar. Ia berani berkelahi untuk membela SBY dan Demokrat. Sama sekali tidak ada yang demikian sekarang.

AHY dan reputasinya. Ia belum bisa keluar dari sosok militer ingusan. Belum cukup teruji sebagai militer, pun sebagai sipil  yang berkarakter. Sayang dengan bekal dan kemampuan sebenarnya masih bisa lebih baik dalam dunia militer. Nyatanya kegagalan di pilkada DKI belum bisa dibuktikan bahwa ia hanya tidak beruntung waktu itu. Memang tidak ada hal yang lebih meyakinkan sebagai seorang politikus kaliber nasional.

Bayang-bayang kegagalan itu awalnya lumayan bisa terkikis dengan keberanian bersafari politik. Sayang tidak dibarengi dengan menjawab isu-isu strategis dengan cerdas dan bernas. Malah SBY yang masih terlalu sering menjadi bayang-bayang besar bagi AHY. Susah pemilih melihat AHY sebagai pribadi yang brilian karena masih kuatnya SBY di sana.

Tandemnya, jika bermain bola, pengumpan EBY juga jauh dari kapasitas itu. Sama sekali tidak ada gagasan dan ide besar yang ia nyatakan. Lha ide saja tidak pernah terdengar, apalagi yang besar. Proteksi dan katrolan yang membawanya pada posisi itu, bukan prestasi.

Capaian Demokrat di masa lalu juga masih belum bisa dilepaskan dari sejarah hidup berbangsa. Bagaimana SBY sebagai presiden dan Demokrat sebagai pimpinan koalisi gagal dalam banyak hal. Lebih kuat ingatan soal korupsi. Ini sama sekali belum bisa terkikis. Malah cenderung akan sama saja. Jangan salahkan pemilih, jika Demokrat dan elit tidak bisa memberikan bukti mereka bisa dipercaya.

Pilihan mereka menjadi oposan asal berbeda juga menjadi sebuah lobang menganga. Mereka tidak bisa membuktikan keberadaan serangan itu sebagai kebenaran. Kadang malah membalik sendiri kepada mereka.  Contoh ketika mereka mengritik Jokowi dan pemerintah, Indonesia akan porak poranda. Upaya baik mencari panggung, tetapi keliru moment. Salah langkah yang demikian besar, sehingga malah merugikan.

Padahal AHY pernah melakukan langkah yang cerdas. Safari politik dengan kesantunan dan kesederhanaan  yang ada. Tidak perlu jelas-jelas atau terang-terangan demi kursi, namun belajar, silaturahmi, sowan untuk belajar bersama para senior. Lihat ademnya photo mereka bersama Puan Maharani. Benar, mereka tentu ada maksud masuk kabinet, toh momentnya adalah Lebaran.

Kedatangan yang natural, bukan semata konsolidasi politik itu juga penting. Keakraban untuk menjalin komunikasi personal, tidak harus beraroma politik, praktis lagi. Ini penting. Hal-hal demikian, AHY tampak bisa dan telah sukses.

Berbeda konteks dengan Demokrat dan SBY 2004. Lain sama sekali. Dan SBY selaku mentor  tampaknya hanya fokus pada saat itu. Sukses yang   sejatinya banyak hal, pihak, dan momentum kebetulan mendukung keberadaannya. AHY masih terlalu jauh  hanya untuk mempertunjukkan kapasitas diri. Belum lagi sebentuk luck, dewi fortuna, atau keberuntungan.

Posisi yang tidak dimiliki AHY ini, jangan malah membuat makin berat langkahnya. Faktualisasi ini adalah, banyaknya SBY menengok ke belakang. Apa yang dinyatakan sering malah menjadi olok-olokan.

AHY akan bisa membesarkan Demokrat jika mau lepas atau melepaskan diri dari bayang-bayang SBY. Mampu menjalin komunikasi dengan lebih baik pada semua parpol, terutama PDI-P. Jika ini sukses, Demokrat bisa kembali berjaya.

Kurangi menjadi oposan kosong menghadapi pemerintah, apalagi dalam kondisi saat-saat ini. Jauh lebih keren ketika memberikan dukungan dengan baik.  Mendukung dengan kontruktif dan memberikan kritik pada saat yang tepat lebih berdampak. Ketika menyatakan kritikan lemah data malah menjadi bumerang.

Layak ditunggu, tetapi pesimis bisa kembali berjaya melihat rekam jejak dan keberadaan pengurusnya. Mirip dengan tim U-16 main piala dunia senior.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun