Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Paskahan bersama Jokowi

15 April 2020   16:59 Diperbarui: 15 April 2020   17:01 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Paskahan Bersama Jokowi

Masih dalam masa Oktaf Paskah, masih cukup wajar menuliskan Paskah. Masa di mana penuh keprihatinan asli dalam arti teologis ataupun faktual. Rangkaian ibadat yang demikian padat, kini harus "menonton"  semata. Syukur bahwa ada kemajuan teknologi. Pilihan untuk tidak ikut karena enggan memang.  Sejak awal ada yang tidak nyaman. Kinerja iblis menang.

Itu bukan yang utama, biar Tuhan yang menjatuhkan vonis atas pilihan itu. Ada yang  lebih penting dan baik justru jika berbicara Paskah ini dalam konteknya Presiden Jokowi. Bagaimana Paskah dan keberadaan Jokowi baik sebagai presiden atau pribadi. 

Tentu ini bukan menyamakan Jokowi sebagai tokoh KS, jangan lebay. Pengalaman manusiawi yang memaknai dengan sudut pandang religius. Pengalaman religius pribadi, lepas agamanya tentu saja.

Paskah itu keprihatinan, maka diawali dengan puasa 40 hari. Duka mendalam karena penyaliban Yesus. Kematian dan ada di dalam alam kubur. Tidak perlu berdebat soal terminologi agamis dan teologis berlebihan. 

Artikel ini bukan membahas itu. Ada penghianatan dan kondisi Yesus sendirian. Para murid malah ada yang menjual, ada pula yang menyangkal kalau ia adalah salah satu murid. Ada pula yang lari telanjang karena takut.

Salah satu murid juga mengandalkan kekerasan demi membela. Pada ujungnya ia juga menyangkal bahkan sampai tiga kali. Ketidaksabaran melihat proses, konsep manusiawi yang bekerja. Suasana itu yang diangkat dalam konteks Jokowi dalam politik hari-hari ini.

Duka mendalam atas kepergian si ibu, itu jelas pukulan amat besar. Anak, meskipun sudah seorang kakek, tetap adalah anak bagi ibu. Ibu yang tidak pernah tergantikan, baik oleh istri, anak, ataupun cucu. Khas, dan peran yang tetap berbeda. Kondisi pandemi yang sangat harus ditaati, menjaga jarak, tidak boleh ada kerumunan, dan itu semua adalah kondisi anomali dalam budaya Jawa ketika kesripahan.

Selaku anak yang sekaligus presiden tidak bisa berlama-lama dalam duka. Sore hari berikutnya sudah harus bekerja. Pekerjaan yang tidak mudah tentunya, bersama-sama negara maju berpikir tentang dunia. Padahal  hati dan pikirannya pasti galau berat. Toh tidak perlu menampilkan wajah muram, galau, apalagi menjual derita. Ia tampil sebagai seorang presiden.

Pandemi lebih mengerikan lagi aksi dan reaksi yang ada. Rival-rival politik yang mengintai di pojokan mulai menebarkan racunnya. Kebijakan apapun tetap saja salawi bicara. Beberapa pihak sejak dua bulan lalu memaksakan lock down, tidak ada penutupan lokasi. Narasi berikutnya hadir. Pemerintah enggan membeayai rakyatnya. Negara gagal menjamin kesejahteraan warganya.

PSBB, penyebaran virus makin luas, angka relatif tinggi. LD di mana-mana gagal. India, Italia, Malaysia gagal, keputusan realistis adalah PSBB, beberapa kota mengikuti. Dana bantuan mulai didistribusikan. Angka masih relatif sama, belum ada lonjakan kenaikan ataupun terjun bebas. Masih harus prihatin, namun dalam koridor yang sama.

Di sinilah peran rakyat, imam besar, para kaum Farisi hadir menghujat Yesus. Sekali lagi bukan soal Jokowi sama dengan Yesus namun bagaimana peristiwa Salib itu pun dipanggul oleh Jokowi selaku presiden. Dukungan sangat minim.

Para murid diminta menemani Yesus yang berdoa dalam kondisi kalut. Menghadapi kematian yang di depan mata. Murid-murid malah ketiduran. Sangat wajar juga, capek, takut, cemas, campur aduk.

Hal yang relatif sama terjadi. Pandemi namun malah para menteri berulah tidak karuan. Ujung-ujungnya juga salawi. Entah harus bagaimana menghadapi perilaku mereka yang malah merongrong kewibawaan pemerintah. Padahal idealnya mereka bahu membahu bersama.

Partai politik, mau oposan atau pendukung pemerintah juga diam saja. Jokowi dihajar kanan kiri, mereka pura-pura tidak dengar dan lihat.  Oposan seperti SBY atau PKS sih masih wajar. Namun mana suara dari partai pendukung? Semua  ketakutan covid-19.

Belum lagi, malah staf khusus kelompok milenial salah prosedur lagi. Hal yang riskan, malah dilakukan. Polemik dan pro-kontra terjadi. Urusan yang pokok bisa terganggu. Ini pukulan dan  cambukan yang tidak berguna. Begitu riuh rendah suara untuk memecat dan ada pula yang cukup senyap mendukung, bahwa itu salah administrasi. Sama juga dampaknya. Ketidakhati-hatian.

Penegakan hukum atas perilaku buruk, hujatan, caci maki, dan sejenisnya. Eh oleh mantan presiden dinyatakan sebagai menghukum rakyat sendiri, kata SBY. Kembali tantrum dan membandingkan eranya sendiri. Selengkapnya.

Menegaskan apa yang AHY sampaikan, bahwa negara ini bisa porak poranda. Ternyata nilai tukar mata uang semakin menguat. Pernyataan politikus kemarin sore tidak terbukti. Toh semua jajaran pemerintahan diam saja. Jokowi menanggung itu semua sendiri.

Belum lagi para pencari panggung politik dari daerah. Ada yang kerjanya setiap hari seperti humas, konferensi pers terus-terusan. Narasi lebay dan negatif yang didengung-dengungkan. Lebih banyak mulut dari pada aksi. Ketika mengambil kebijakan ngaco semua. Narasi buruk yang ditebarkan.

Relawan yang selama ini setia dengan susah payah, berkeringat tanpa pamrih pun sedikit banyak mulai kelelahan, mendengarkan agitasi dan narasi buruk terus menerus. Mereka jadi kacau. Bingung mana yang benar dan mana yang salah.

Kontroversi dan rekayasa demi rekayasa menutup kebenaran itu seolah melaju dengan mulus. Elit pemerintahan diam dengan keadaan itu semua.

Persoalan pandemi covid ini peristiwa alam, semua negara mengalami. Dan hanya negeri ini yang membawa pandemi ke arah suksesi. Politikus kehilangan panggung hingga para pelaku politik yang mau melindungi diri dari kesalahan masa lalu, berkolaborasi menunggangi covid.

Masalah penyakit namun dibawa ke mana-mana. Politik, ekonomi, bahkan ada yang menuduh bahwa akan ada upaya perampokan yang legal oleh pemerintahan. Miris, bagaimana keadaan yang memerlukan banyak energi, pemikiran, dan kebersamaan malah diporak-porandakan demi  kepentingan politik kelompok.

Paskah itu sejatinya soal sosial, di mana ada elit yang takut tersaingi, dan mengorbankan satu pribadi dinilai lebih baik. Pernyataan lugas oleh tokoh agama ini membawa impilkasi luar biasa. Rekayasa demi rekayasa mereka ciptakan. Kerjasama dengan musuh pun terjadi. Membeli murid  demi terciptakan jalan kejahatan pun dilakukan, oleh tokoh agama. Lihat kontekstualisasi hari-hari ini pun kita rasakan bukan?

Sekali lagi bukan menyamakan Jokowi dengan Nabi Isa,  namun bahwa pengalaman berbangsa dalam diri Jokowi bisa sangat selaras dengan kisah penyaliban. Ini bukan berbicara teologi, namun fenomena sosial dan politik.

Jadi tidak perlu meributkan keyakinan, dogma, atau agama. Di luar itu semua. Dan bukan tempatnya bicara teologi dan agama dalam konteks blog keroyokan ini tentunya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun