Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wakil Presiden KHMA Membuka Topeng Politikus Ini

5 April 2020   20:38 Diperbarui: 5 April 2020   21:05 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wakil Presiden KHMA Membuka Topeng Politikus Ini

Masalah covid sebenarnya sederhana. Pelik dan rumit  itu permainan para pemain politik. Motiviasinya beragam, ada yang karena demi panggung politik, mencari uang, atau menanamkan pengaruh sebagai pemimpin yang hebat. Ini masalah yang menjengkelkan sebenarnya. belum lagi narasi media yang menebarkan kekalutan dan kecemasan.

Pilihan menembus.... mencapai....kini sudah  sampai angka.... untuk penderita positif dan yang meninggal. Saat melaporkan yang sembuh biasanya tidak ada dalam judul, termasuk untuk head line. Itu baik media arus utama, ataupun media ecek-ecek sama saja. Miris sebenarnya. Sejatinya bisa lebih memilih yang positif, memberikan harapan dengan melaporkan harapan, kesembuhan, dan yang sejenisnya lebih banyak.

Belum lagi permainan politik yang lebih kasar lagi. Membantah dengan pilihan yang tidak sama apa yang diputuskan pemerintah pusat. Tentu bahwa pilihan pusat belum tentu benar iya. Siapa sih yang sudah memiliki kepastian cara yang tepat guna dalam kondisi seperti ini. Lha Amerika yang adidaya dan selama ini kiblat kemajuan saja juga kedodoran. Artinya, semua ya meraba-raba dan menentukan  benar dan salahnya sambil jalan.

Revisi keputusan dan adanya kesalahan itu bukan sebentuk kesengajaan, ya memang kondisi darurat. Namun ada pula yang memang terasa bahwa itu sebuah kesengajaan. Ketika diminta membuat jarak namun malah menciptakan kerumunan yang dengan cepat ditarik lagi, setelah kejadian.

Pemerintah terutama pusat, tentu  mempertimbangkan segala segi untuk mengambil kebijaksanaan. Bagaimana semua bisa terakomodasi dengan lebih baik, aman, dan semua bisa terselesaikan dengan sebaik mungkin. Negara kepulauan dengan ribuan nusa, ratusan suku dengan karakternya, dan juga model bersosialisasi yang berlainan.

Cukup pelik, tidak sesederhana mencontoh Italia, atau China, atau Belanda. Itu keadaan, kondisi, rakyat, dan juga karakter berbudayanya berlain-lainan. Mungkin ada yang jitu untuk di China, namun belum tentu bagi Indonesia. Pun sebaliknya. Khas dan itu pilihan yang tidak serta merta.

Nah, ketika orang hanya berteriak lakukan ini seperti negara itu. Atau mengapa memilih ini tidak seperti yang itu, gampang sebagai penonton, rakyat, atau yang hanya meminta. Lha yang memutuskan itu tidak demikian. Pertimbangan banyak banget, belum lagi berkejaran dengan virus, masih ada "virus" lain waton sulaya.

Salah satu yang paling "bandel" adalah Jakarta. Bagaimana berkali ulang menyiptakan kerumunan. Pembatasan angkutan massal. Hanya sehari toh tetap saja banyak potensi penularan. Mengadakan pasar murah, lagi-lagi hanya sehari. Toh itu tetap saja ada kerumunnan. Ini membuktikan, bahwa hal yang tidak mudah untuk menjaga jarak bukan hanya oleh rakyat, kepala daerah saja membuat kebijakan demikian.

Ketika pusat merencanakan akan ada bantuan tunai untuk warga yang sangat memerlukan bantuan, ada yang cukup lucu. Bagaimana ada angkat 3,6 juta yang perlu mendapatkan bantuan. Sebanyak 1.1 juta sudah menjadi bagian pemprov, dan yang 2.5 juta meminta pusat menanggungnya. Bagus ketika Wapres KHMA, mempertanyakan, apakah data untuk yang perlu ditanggung oleh negara itu sudah tercatat, nama, alamat, dan itu sudah terverifikasi. Cukup lucu ketika mengatakan masih perlu waktu untuk itu.

Ada beberapa hal yang patut dilihat lebih cermat.

Benar bahwa sejumlah 1.1 juta adalah warga miskin yang memang sudah ada dalam catatan pemerintah karena rutin mendapatkan bantuan. Ini jelas tidak menjadi persoalan. Karena memang sudah sangat jelas siapa saja dan bagaimana kondisi mereka.

Dua setengah juta yang kemarin rentan miskin dan kini menjadi miskin terdampak ini jelas sebenarnya sudah ada dalam data.  Karena toh sudah keluar angka 2.5 juta. Menjadi pertanyaan, lha 2.5 juta ini angka dari mana? Asumsi atau benar-benar valid?

Jika itu asumsi, lha dari mana mendapatkan angka itu, dan itu akan dikalikan juga dengan rupiah. Jika saja ada 5% saja kesalahan, berapa rupiah kali sekian bulan. Ini kog seolah main-main. Berbeda jika itu adalah level RT, hanya puluhan orang dan salah gampang narik.

Rentan miskin ini jelas sudah ada datanya. Apalagi sekelas Jakarta. Menjadi aneh ketika mengatakan masih perlu waktu. Sederhana kog, misalnya, ada warna merah, berarti sudah masuk 1.1 juta itu, kuning, lingkup yang beranjak dari miskin namun rentan. Siapa saja mereka itu sebenarnya ketahuan dengan mudah.

Ini zaman modern, bukan zaman manual. BPS pasti punya data itu lengkap. Verifikasi ulang tidak akan lama. Birokrasi berjenjang dan modern seperti ini untuk apa jika ruwet dan selalu lama?

Ada hal yang menarik jika melihat pola kerja seperti itu boleh dong curiga jika kinerjanya hanya berdasar asumsi semata. Lha bagaimana memaksakan LD, jika menjawab data yang 2.5 juta rentan miskin saja masih gagap.

Syukur bahwa KH Makruf Amin dengan sederhana namun mempertontonkan keadaan yang sesungguhnya. Pertanyaan sederhana sebenarnya, jika memang bekerja dengan baik dan serius.

Hal yang sama terjadi juga dengan Walikota Tegal yang memutuskan empat bulan lock down, dan hanya bertahan empat hari. Kajian yang asal-asalan, membuat keadaan tidak lebih mudah. Hal yang sederhana menjadi rumit.

Bermain politik itu sah-sah saja, namun juga tidak sembarang keadaan menjadi panggung politik. Masih banyak kesempatan kog. Prestasi itu akan dikenang dan dicatat tidak usah memaksakan prestasi. Jalani dengan apa adanya, penghargaan itu akan hadir sendiri.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun