Irrasionalitas Covid-19
Tadi siang, ketika makan di luar, karena ada teman datang,  polisi lewat dan memberikan sosialisasi untuk tidak tongkrongan, tidak mengadakan  kumpulan massa, pengajian, arisan, ataupun hajatan, dan tindakan sejenis. Melengkapi pemberitahuan atau sosialisasi dari pihak Dinkes dua hari lalu yang menyatakan masyarakat agar tetap tinggal dalam rumah, tidak perlu cemas, namun tetap waspada.
Aksi langsung terjun ke masyarakat ini tentu atas arahan Gubernur Ganjar yang cukup efektif, bagaimana langsung ke masyarakat. Benar  terjadi, pekan kemarin pengajian Kamisan dekat rumah masih berlangsung, kini sudah tidak ada. Pilihan sosialisasi yang lebih pas, dari pada konferensi press, meskipun kota megapolitan, tetap saja tidak akan efektif dan efisien.
Di balik hal baik toh beberapa patut dicermati, baik dalam ataupun luar negeri dan itu adalah fakta;
Dari luar negeri dulu, ada pemuka agama yang meminumkan cairan untuk bagian luar tubuh. Jelas saja tenggorokannya kebakar, minimal iritasi. Kandungan dalam cairan itu memang ditujukan untuk membunuh kuman, bakteri, dan virus. Jelas saja kulit luar tubuh saja bisa panas, ini dalam tubuh yang sangat sensitif.
Penggunaan untuk luar tubuh pun tentu dengan pengenceran. Lah ini diminum. Jelas selain keracunan banyak organ yang terbakar pastinya. Jelas berlebihan, ia bukan ahlinya, melampuai apa yang ia ketahui.
Beberapa pemuka agama menyatakan klaim bahasa roh atau minyak ini dan itu efektif untuk menangkal corona. Terserah sih jika itu dinyatakan dalam komunitas tertutup mereka, namun ketika sudah menggunakan media sosial. Tentu berbeda lagi.
Padahal di Korea dengan konteks yang berbeda, namun komunitas yang identik, ada satu jemaat yang sangat mungkin terjangkit corona namun memaksa ikut ibadat. Dan separo jemaat sudah dinyatakan terpapar. Angka nasional Korea pun ikut terdongkrak karena hal ini. Padahal protokol kesehatan sudah diupayakan dengan baik.
Atas nama iman, dan pemahaman sempit masih banyak jika mau dideret bagaimana keadaan itu sangat jamak, baik di dalam atau luar negeri dengan berbagai-bagai agama. Artinya hampir semua agama memiliki perilaku yang hampir sama, hanya soal cara dan alasan yang  berbeda.
Kisah ini, jelas karena fanatisme dan kecintaan buta, abai akan keselamatan diri dan lingkungan. Bisa dimaklumi karena akses informasi dan kondisi latar belakang.Â
Ketika ada jenazah yang diduga korban convid dipaksa untuk dibuka dan dimandikan ulang. Pendekatan yang tidak diupayakan maksimal, mungkin karena tidak siap dan kaget, jadi terjadilah keadaan yang tidak diinginkan.
Sosialisasi juga menjadi masalah, ketika orang ODP malah jalan-jalan, atau ngerumpi, dan ikut dalam kegiatan dalam acara hidup bersama di kampung. Berapa banyak yang potensial terpapar. Dan mereka ada yang sadar, namun ada pula yang memang tidak paham.
Miris lagi jika mereka adalah orang-orang yang paham dan tahu dengan baik, protokol apa yang harus dilakukan tahap demi tahap. Toh penolakan atau pengabaian itu terjadi. Beberapa hal yang bisa disebutkan adalah
Anggota dewan Blora yang menolak diperiksa oleh dinkes ketika mereka tiba di daerah asal. Apakah mereka tidak tahu? Malah meremehkan profesi lain dan merasa diri lebih hebat. Padahal virus tidak kenal mau dia pejabat atau rakyat. Ini otaknya malah yang soak, dan perlu treatment khusus. Untuk rendah hati dan tahu diri.
Miris lagi, ketika para medis di Bekasi dilakukan di stadion. Pengumpulan massa, mengapa tidak di tempat kerja masing-masing. Aneh dan lucu mereka sudah kerja setengah mati, dikumpulkan dalam satu tempat, dan itu pasti menguras energi, plus kecemasan. Lucu dan naif jika demikian.
Belum lagi pejabat yang melakukan aksi dan  keputusan seperti ingus, naik turun. Sehari dilakukan, diprotes dan dicabut. Padahal jelas-jelas aksi yang telah diputuskan itu vatal dan berkebalikan dari apa yang seharusnya diambil.Â
Contoh, pembatasan angkutan, jelas seperti apa dampak yang terjadi. mengapa? Masih cukup banyak yang tetap harus bekerja. Ini jelas irrasional. Entah jika memang sebuah kesengajaan.
Pandemi ini jelas kondisi darurat, tidak ada persiapan, ataupun sebentuk rencana yang bisa dipikirkan masak-masak. Namun jika mau mendengarkan pihak-pihak yang berkompeten, tentu tidak akan ada kejadian yang malah membuat repot. Mengapa banyak keribetan?
Ada urusan politis, beberapa pihak yang memaksakan lock down dan melakukan aktivitas aneh-aneh cenderung orang politik yang mengail di air keruh. Orangnya ya itu-itu saja. Sebenarnya kecil hanya memanfaatkan corong dan media sosial sehingga seolah gede.
Pemahaman rendah, diwakili oleh minum cairan sabun dan membuka peti jezanah dan memandikan, dan juga memeluk karena untuk terakhir kalinya. Hal ini sangat bisa diatasi jika mau mendegarkan kata pihak yang lebih berkompeten. Wajar sih masyarakat menjadi seenaknya karena diberi contoh elit mereka.
Sok. Ini diwakili oleh pemuka agama yang memaksakan kata iman dan juga anggota dewan yang enggan diperiksa. Mereka jelas tahu konsekuensinya, paham apa yang terjadi. namun karena sombong, arogan, dan merasa diri lebih, jadi abai akan kenyataan.
Ceroboh. Diwakili kelompok yang  memutuskan dengan grusa-grusu dan abai akan kepentingan yang juah lebih luas. Keputusan sektarian, hanya berpikir sempit, sepihak, dan apalagi kepentingan politik praktis pribadi. Dan juga pemeriksaan rappid test di stadion. Mereka paham, hanya ceroboh.
Negara terlalu berat jika harus memberikan beaya untuk kengawuran yang hakiki demikian. Tentu yang terjadi di Indonesia. Pembelajaran cukup mahal jika sampai nyawa melayang.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H