Sosialisasi juga menjadi masalah, ketika orang ODP malah jalan-jalan, atau ngerumpi, dan ikut dalam kegiatan dalam acara hidup bersama di kampung. Berapa banyak yang potensial terpapar. Dan mereka ada yang sadar, namun ada pula yang memang tidak paham.
Miris lagi jika mereka adalah orang-orang yang paham dan tahu dengan baik, protokol apa yang harus dilakukan tahap demi tahap. Toh penolakan atau pengabaian itu terjadi. Beberapa hal yang bisa disebutkan adalah
Anggota dewan Blora yang menolak diperiksa oleh dinkes ketika mereka tiba di daerah asal. Apakah mereka tidak tahu? Malah meremehkan profesi lain dan merasa diri lebih hebat. Padahal virus tidak kenal mau dia pejabat atau rakyat. Ini otaknya malah yang soak, dan perlu treatment khusus. Untuk rendah hati dan tahu diri.
Miris lagi, ketika para medis di Bekasi dilakukan di stadion. Pengumpulan massa, mengapa tidak di tempat kerja masing-masing. Aneh dan lucu mereka sudah kerja setengah mati, dikumpulkan dalam satu tempat, dan itu pasti menguras energi, plus kecemasan. Lucu dan naif jika demikian.
Belum lagi pejabat yang melakukan aksi dan  keputusan seperti ingus, naik turun. Sehari dilakukan, diprotes dan dicabut. Padahal jelas-jelas aksi yang telah diputuskan itu vatal dan berkebalikan dari apa yang seharusnya diambil.Â
Contoh, pembatasan angkutan, jelas seperti apa dampak yang terjadi. mengapa? Masih cukup banyak yang tetap harus bekerja. Ini jelas irrasional. Entah jika memang sebuah kesengajaan.
Pandemi ini jelas kondisi darurat, tidak ada persiapan, ataupun sebentuk rencana yang bisa dipikirkan masak-masak. Namun jika mau mendengarkan pihak-pihak yang berkompeten, tentu tidak akan ada kejadian yang malah membuat repot. Mengapa banyak keribetan?
Ada urusan politis, beberapa pihak yang memaksakan lock down dan melakukan aktivitas aneh-aneh cenderung orang politik yang mengail di air keruh. Orangnya ya itu-itu saja. Sebenarnya kecil hanya memanfaatkan corong dan media sosial sehingga seolah gede.
Pemahaman rendah, diwakili oleh minum cairan sabun dan membuka peti jezanah dan memandikan, dan juga memeluk karena untuk terakhir kalinya. Hal ini sangat bisa diatasi jika mau mendegarkan kata pihak yang lebih berkompeten. Wajar sih masyarakat menjadi seenaknya karena diberi contoh elit mereka.
Sok. Ini diwakili oleh pemuka agama yang memaksakan kata iman dan juga anggota dewan yang enggan diperiksa. Mereka jelas tahu konsekuensinya, paham apa yang terjadi. namun karena sombong, arogan, dan merasa diri lebih, jadi abai akan kenyataan.
Ceroboh. Diwakili kelompok yang  memutuskan dengan grusa-grusu dan abai akan kepentingan yang juah lebih luas. Keputusan sektarian, hanya berpikir sempit, sepihak, dan apalagi kepentingan politik praktis pribadi. Dan juga pemeriksaan rappid test di stadion. Mereka paham, hanya ceroboh.